Rel Kereta
Rel kereta. Itu tempat dimana kenangan menyakitkanku. Yah, Agni Tri Nubuwati sahabatku, sejak kelas 3 SD aku mengenalnya. Dan sekarang aku telah kuliah. Semua kenangan manis, Agni lah yang membuatnya, aku tak bisa melupakan ataupun mencari pengganti Agni sebagai sahabat sejati serta seorang yang spesial di hatiku, sejak kejadian itu melandanya.
Oh iya! Aku Cakka Kawekas Nuraga, dan aku akan menceritakan tentang kenangan manis yang menyakitkan, tentang aku dan Agni. Yah, mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku berkata ‘pengganti Agni’? akan aku ceritakan, semuanya.
Kejadian itu terjadi saat aku dan Agni duduk di bangku kelas 5 SD,
***
Aku berlari melewati rel kereta api itu. Agni hanya memandang saja di pinggir. Aku menatapnya.
“Hei! Ayolah, sekali-kali kau ikut main disini!” seruku dengan melambaikan tangan. Agni menggelengkan kepalanya.
“Tidak! Aku benar-benar tidak kuat untuk kesana, Cak!” balasnya berteriak. Kalian tahu kenapa Agni tak mau ikut bermain bersamaku dan yang lain di rel kereta ini? Yap, betul! Ayah Agni, meninggal disini tepat jam 01.23. jika mengingat kejadian itu, aku tak kuasa menatap Agni yang menangis tak henti-hentinya dan menghabiskan 6 kotak tisu di rumahku.
Bukan hanya Ayah Agni saja, tapi juga Ibu Agni. Ibu Agni termasuk korban saat kecelakaan kereta itu berlangsung di rel kereta ini. Kini Agni anak yatim piatu, ia tinggal bersama Tantenya. Tak terbayang wajah Agni setiap ia mengajakku ke makam kedua orang tuanya. Sungguh, aku tak tahan melihatnya seperti itu.
“Apakah suatu saat nanti kau akan ikut bermain bersama kita?” tanyaku setengah berteriak. Agni yang rambutnya kini berkibar akibat angin yang bertiup memandangku kesal.
“Tidak akan!” jawabnya pendek.
“Sudahlah.. Terserah kau.. Jangan menyesal ya! hahaha!”
“Tidak akaaaan!” teriak Agni membuatku tutup kuping. Haduh, raksasa mengamuk! Tidak juga sih, Agni melebihi seramnya raksasa!
***
“Cakk,” panggil Agni saat aku dan Agni berjalan untuk pulang. Aku menoleh kearahnya.
“Apa?”
“Menurutmu, apakah aku akan bernasib sama dengan Ayah dan Ibuku?” tanya Agni membuatku tersentak kaget. Aku menghentikan langkah. Agni pun begitu. Aku memandang Agni dengan tatapan bingung.
“Jangan bicara seperti itu!” cegahku. Agni memanyunkan bibirnya.
“Habis, Ayahku meninggal tepat jam 01.23 di rel itu, begitu juga Ibuku.. Kadang aku berpikir bahwa aku akan bernasib sama seperti Ayah dan Ibu, karena itu aku tak pernah mau bermain di rel itu,” jelas Agni. Aku menepuk pundaknya, lalu mengembangkan senyuman.
“Aku tak akan biarkan semua itu terjadi, aku tak ingin kehilangan kau.. Aku akan selalu menjaga dirimu,” kataku. Agni memandangku aneh.
“Really?”
“No,” Agni segera memberiku pukulan dahsyatnya. Aku tertawa.
“Ah! Kau tak bisa dipercaya lagi!”
“Siapa suruh percaya padaku?” Agni tertawa. Lalu kami melanjutkan perjalanan.
***
Sesampai di rumah, aku langsung masuk ke kamarku dan melempar tubuhku ke kasur besar yang ada di kamarku. Kupandangi satu per satu fotoku bersama Agni tadi. Agni sangat manis.
“Ah Tuhan, terima kasih Kau telah memberiku malaikat manis seperti Agni,” ujarku masih melihat foto-foto itu.
“Besok, aku akan mengajak Agni bermain di rel itu lagi ah!” kataku. Lalu aku belari keluar dari kamar dan masuk ke kamar kakakku, Kak Elang.
“Kakaak!” teriakku. Kak Elang, kakakku yang hebat. Mengapa aku mengatakannya hebat? Karena dia terkadang bisa tahu apa yang terjadi sebelum hal itu terjadi.
“Cakka? Mau apa kau kemari wahai adikku jelek?” tanya kak Elang membuatku melempar bantal yang ada ditanganku. Kak Elang tertawa, kencang sekali. “Oke, maafkan aku! Lalu, kau kemari untuk apa?” tanya kak Elang lagi. Aku duduk di sebelahnya.
“Kak, apakah kau pernah bermimpi Agni tertabrak kereta di rel tempat ayah dan ibunya meninggal?” wajah kak Elang terlihat terkejut sekali. Kenapa ia menampakkan wajah seperti itu? Aku juga tak tahu.
“Mengapa kau bertanya seperti itu?” tanya kak Elang lagi-lagi. Aku menggeram pelan.
“Agni tadi bertanya padaku, ‘Cak, apakah aku akan bernasib sama seperti Ayah dan Ibuku?’ karena aku khawatir, aku bertanya pada kau!” jelas Cakka. Wajah kak Elang terlihat bingung, lalu ia mengubah mimik wajahnya. Bibirnya kini tersenyum, lalu ia mengacap-acak rambutku.
“Kau khawatir pada Agni?” tanya kak Elang sedikit menggoda.
“Ya, bagiku Agni itu spesial di hatiku,” jawabku santai. Kak Elang menaikkan satu alisnya. Wajahnya gelisah, ada apa sih? saat itu, aku benar-benar ingin bisa membaca pikiran Kak Elang.
“Em.. sudah jam segini, tidurlah.. besok kan kau harus berangkat pagi untuk menjemput Agni dan berangkat ke sekolah bersama bukan?”
Aku memukul pelan punggung kakakku itu, “Kakak hebat! Bisa tahu apa yang aku pikirkan!” Lalu aku berjalan keluar dari kamar kak Elang.
BRAK! Suara pintu kamarku tertutup. Saat pintu itu tertutup, aku baru sadar bahwa kak Elang belum menjawab pertanyaanku tadi.
***
Pagi itu cerah sekali, matahari bersinar terang. Aku bangun dari tidurku, beranjak dari kasur menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh.
Tak lama aku bersiap, kini aku telah memakai seragam sekolahku. Seragam berwarna merah muda dengan pola kotak-kotak putih merah, dan bawahan celana berwarna putih selutut. Aku tersenyum menghadap cermin. Dan turun ke lantai bawah untuk sarapan bersama keluargaku.
“Selamat Pagi, Cakka!” sapa Mamaku. Aku berlari ke tempat Mamaku berdiri dengan membawa piring yang diisi dengan roti tawar, serta selai strawberry kesukaanku.
Aku mengecup pipi Mamaku, “Selamat Pagi juga Mama!” sepertinya, aku terlihat seperti anak ‘mami’ biarlah.
“Sarapan dan segera berangkatlah ke sekolah!” perintah Mamaku. Aku mengangguk, dan duduk di ruang makan untuk memakan selembar roti tawar, dan meminum segelas susu putih.
Selesai sarapan, aku mencium tangan Mamaku dan bersiap berangkat ke.. rumah Agni. Aku mengeluarkan sepedaku dari bagasi, sepeda berwarna hitam abu-abu yang keren. Aku menaiki dan menjalankannya secepat mungkin.
***
“Agni! Ayo berangkat! Kita sudah hampir terlambat!” ajakku terburu-buru. Agni sedikit tersenyum, lalu menaiki sepedaku.
“Kau sih terlalu lama!” balasnya dengan menepuk pundakku pelan.
“Yah, maafkan aku! Aku kemarin susah untuk memejamkan mata!” sambungku.
“Sudahlah! Ayo berangkat!”
***
Saat jam istirahat di sekolah, aku bersama Agni berjalan menuju kantin untuk memenuhi permintaan perutku yang mulai mengadakan ‘drum band’
“Kau ingin pesan apa? Biar aku yang memesankan!” tanya Agni. Aku tersenyum.
“Seperti biasa saja, nasi goreng,” jawabku.
“Minumnya?”
“Terserah kau, aku menurut saja,” Agni mengangguk, lalu berjalan untuk memesankan makananku dan dia. Saat bayangan punggung Agni telah hilang, aku berpikir kembali dengan kejadian ‘tanya-jawab’ antara aku dan kak Elang.
‘Apa jangan-jangan kak Elang ingin mengatakan kalau pertanyaan Agni akan benar-benar terjadi? Tapi kak Elang tak ingin aku khawatir, jadi kak Elang tak mengatakannya? Jangan-jangan seperti itu?’ pikirku panjang lebar. Lalat terbang dengan suara yang tak kusuka, membuatku sadar dan menggelengkan kepala.
‘Tidak mungkin!’ sambungku tetap membatin. Beberapa menit kemudian, Agni datang, dengan dua piring.
“Ini nasi goreng punyamu! Dan ini punyaku!” Agni menyodorkan sepiring nasi goreng itu padaku. Aku menerimanya. Di tengah perjalanan saat aku akan menelan nasi goreng itu, Agni bertanya.
“Cakka, mengapa aku selalu merasa bahwa suatu saat nanti aku akan seperti Ibu dan Ayahku?”
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” aku tersedak, aku kembali teringat tentang kemarin. Agni segera memberiku segelas air putih. Aku menghela napas, lega rasanya.
“Agni! Kan aku sudah peringatkan supaya kau tidak lagi berpikir seperti itu!” bentakku. Agni menunduk, apakah wajahku seseram yang Agni bayangkan?
“Maaf,”
***
“Agni! Agni! Agni!” panggilku saat pulang sekolah. Agni menoleh.
“Ada apa, Cakka? Kau memanggilku?” tanya Agni setengah berteriak. aku mengangguk. Agni menghentikan langkahnya, untuk menungguku.
“Agni, kita main ke rel itu lagi yuk!” ajakku.
“Apa? Tidak,tidak.. aku tetap saja takut!” tolak Agni.
Aku menarik tangan Agni dengan paksa, “Ayolah, supaya kamu tidak takut seperti ini lagi! Kita coba bermain disana!” Agni tetap menolak, tapi lama-kelamaan ia menyerah. Akhirnya kita kembali bermain di rel itu.
***
Aku menggenggam tangan Agni, dan terus menarik tangan Agni supaya ia mau menginjakkan kakinya di rel itu. Agni memejamkan matanya dengan perasaan takut luar biasa.
“Buka matamu! Tidak apa-apa!” Agni membuka matanya. Ia menyapu pandangannya, beberapa detik setelah itu, senyum manis mengembang di bibirnya. Aku ikut tersenyum melihatnya.
“A..aku masih hidup, Cakka? Aku sudah berada di rel kereta ini? Ini bukan sebuah mimpi anehku kan, Cakka?” tanya Agni bertubi-tubi.
Aku menggeleng, “Semua ini nyata, kau telah menginjakkan kaki ke rel ini, dan tidak terjadi apa-apa! Bagaimana? Kau sudah tak takut lagi kan?” Agni mengangguk. Wajahnya sangat senang.
Lalu aku mengeluarkan sebuah benda dari tas ransel ku, sebuah topi lebar, seperti yang digunakan perempuan saat di pantai. Aku memakaikannya di kepala Agni.
“Pakailah!” Agni jelas terkejut, ia meraba topi itu. Dan kembali tersenyum.
“Terima kasih!” balas Agni. Aku hanya membalas anggukan saja.
“Agni, aku akan menaruh tasku disana! Tasmu sekalian saja ya?” tawarku. Agni mengangguk. Lalu aku meraih tas serempang Agni dan berjalan ke pinggir rel. dan dari pinggir sana, aku melihat Agni berputar menari dengan riang dengan mengenakan topi pemberianku.
‘Ternyata benar, Agni tidak apa-apa.. Aku senang melihatnya tertawa seperti itu,’ batinku. Lalu tiba-tiba, Angin bertiup kencang. Topi yang Agni kenakan terbang. Dan tepat saat itu bunyi tanda kereta datang.
“AGNI!” Agni tak mungkin mendengar teriakan kerasku itu. Agni masih terlihat berusaha meraih topi yang terbang itu. Tiba-tiba, angin berhenti. Topi Agni berhasil Agni tangkap, Agni mengenakan topi itu kembali. Lalu Agni menoleh ke belakang.
“AGNI!!!!!” teriakku sudah berlari, tapi percuma.
BRAK! Kereta itu, melaju sangat cepat dan melayangkan satu nyawa orang yang sangat aku sayangi. tangis teriakanku membuat seluruh warga yang mendengar membantu Agni dan membawa ke Rumah Sakit.
Hanya satu orang yang bisa aku hubungi, kak Elang. Karena keluarga Agni sudah tiada, dan aku tak memiliki nomor Tante Agni yang tinggal bersama Agni.
Kak Elang datang di rumah sakit. aku segera memeluk kak Elang. Tangisku, tak bisa kuhentikan.
“Agni, kak….,” suaraku terdengar serak, akibat sejak tadi aku berteriak mungkin? Kak Elang mengelus rambutku.
“Ini salahku, Cak.. Kalau misalnya, kemarin aku menjawab pertanyaanmu dengan jujur, mungkin hal ini takkan terjadi..,” ujar kak Elang memelukku erat. Kak Elang ikut menangis, karena Agni juga sangat dekat dengannya. “Kakak.. kakak pernah bermimpi.. Saat kau dan Agni bermain di rel itu.. dan kereta melaju cepat.. Tapi, kau selamat dan hanya Agni yang…..,-“
“Bukan kak…. Ini salah Cakka… kalau saja Cakka tak mengajak Agni ke rel itu.. Hal ini takkan pernah terjadi… Cakka menyesal kak…,” ujarku terisak. Suaraku terdengar nyaring. Sungguh, saat itu seluruh tubuhku terasa sakit, lebih sakit daripada waktu kakiku tertimpa piring. Aku pun tak sadar, bahwa aku memotong penjelasan kak Elang. Tapi, biarlah.
‘Ya Allah, kumohon.. jangan ambil Agni.. aku masih ingin mendengar tawanya.. melihat senyumnya.. dan bermain bersamanya.. Ya Allah, sekali lagi kumohon.. jangan ambil Agni..,” Dokter keluar. Dengan wajah basah, mungkin dokter juga bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang ini.
Dokter menggeleng, saat itu tangisku kembali meledak.
***
‘Agni, aku sangat rindu padamu..
Kini aku telah kuliah.. aku telah berumur 18 tahun.. Andai saja saat ini kau masih ada di sampingku, mungkin saat kelulusan SMP, SMA, kita akan saling menebar tawa.. Agni, meskipun kau sekarang sudah pergi.. aku takkan melupakanmu.. karena saat aku melihat bintang, aku merasa seperti kau ada disampingku, saat kulihat bintang.. aku merasa seperti melihat senyummu.. topimu, masih kusimpan.. meski darah membekas, tapi aku tak peduli.. mungkin topi ini akan kuberikan pada anakku saat nanti..
Agni, jangan pernah lupakan aku..
Jakarta, 23 April 2005’
***
Epilog
Di suatu tempat, Agni, duduk di kursi dengan membaca selembar kertas, ber-amplop bergambar Mickey Mouse, surat dari Cakka. Itu yang ia baca. Ia tersenyum, manis sekali.
“Cakka, aku juga takkan pernah melupakanmu.. sampai kapanpun..,”
The End