Membedah perekonomian Indonesia di Tahun 2011 bersama Aviliani
Pengamat ekonomi Aviliani memperkirakan roda perekonomian Indonesia pada tahun 2011 akan berjalan baik. Bahkan pertumbuhan ekonomi di tahun ini berpotensi mengalami tren kenaikan sampai dengan empat tahun mendatang. Menurut Avi, hal demikian bisa terjadi karena Indonesia diuntungkan oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Dari sisi eksternal, faktor utama yang berpengaruh adalah krisis ekonomi global yang melanda Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Krisis ini telah menyebabkan terjadinya defisit anggaran dalam jumlah besar. Recovery terhadap krisis yang berjalan lamban juga membawa keuntungan tersendiri bagi perekonomian nasional. Kemampuan bertahan dari hantaman krisis membuat Indonesia dipandang sebagai salah satu dari sedikit negara yang dapat memberikan keuntungan investasi besar.
Ditilik dari faktor internal, posisi sebagai negara dengan pasar terbesar keempat di dunia setelah China, Amerika, dan India membuka peluang yang sangat lebar bagi pergerakan pasar domestik. Selain itu, Indonesia juga diuntungkan dengan komposisi penduduk dimana 68% diantaranya adalah penduduk dalam usia produktif. Jumlah populasi usia produktif yang besar bisa mendorong pertumbuhan konsumsi yang signifikan. “Kalau dia (golongan usia produktif) punya pendapatan per kapita, itu akan lebih banyak dikonsumsi. Nah kita seharusnya diuntungkan dengan ini,” tutur Avi. Faktor ketiga adalah besarnya sumber daya alam yang dimiliki. Namun, Peneliti INDEF ini menggarisbawahi, “Resource kita belum optimal dalam pengelolaannya.”
Perhatian Pada Sektor Riil
Menurut Avi, Pemerintah bisa semakin percaya diri menatap perekonomian jika memberikan perhatian yang lebih besar pada sektor riil. Jika dilihat secara sektoral, sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja tahun lalu justru mengalami pertumbuhan yang rendah, misalnya manufaktur, pertanian, dan pertambangan. Namun, sektor jasa dan padat modal malah merasakan pertumbuhan mencapai di atas 10%. Menyangkut hal tersebut, Avi menekankan perlunya policy pemerintah yang bisa mendukung penyerapan tenaga kerja.“Peluang makronya bagus, tapi kalau pemerintah enggak berbuat apa-apa ya sayang,” cetus Avi.
Ditambah dukungan faktor internal lain, antara lain tingkat suku bunga yang masih relatif tinggi, Avi optimis pertumbuhan ekonomi 6,4% yang ditargetkan Pemerintah bisa tercapai. Bahkan jika Pemerintah mau berusaha lebih keras dengan mengeluarkan terobosan-terobosan baru, bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi 7% bisa terealisasi pada tahun 2012. Dua alternatif terobosan yang diutarakan pengamat ekonomi yang kerap tampil di televisi tersebut, antara lain dengan mengeluarkan obligasi untuk infrastruktur dan menerbitkan policy di bidang manufaktur.
Avi meyakini, dalam kondisi sekarang, mengeluarkan obligasi di bidang infrastruktur dapat menimbulkan multiplier effect yang luar biasa di masyarakat. Ia menegaskan,”Swasta akan berperan serta. Public partnership juga bisa dilakukan. Masyarakat kelas menengah ke bawah juga bisa investasi.” Lebih jauh, kebijakan ini dipandang sanggup memberikan tingkat penerimaan pengembalian kepada Pemerintah yang lebih signifikan. Potensinya akan semakin besar lagi jika daerah-daerah tertentu yang memiliki APBD bagus diperbolehkan untuk mengeluarkan kebijakan serupa. Ini adalah adalah satu alternatif upaya yang bisa ditempuh pemerintah untuk mengalihkan dana agar tidak hanya berputar di pasar modal. Menurut Avi, arus dana yang berpusat di pasar modal saja dapat menyebabkan kapitalisasi tinggi, tetapi tidak mengalir ke sektor riil. “Sehingga pertumbuhannya tidak merata. Nah, itu yang mulai harus dikurangi,” kata pengamat yang sudah menulis banyak buku di bidang ekonomi itu.
Lebih lanjut, Pemerintah tak perlu terlalu khawatir jika ingin menerbitkan obligasi dalam negeri baru, asalkan hasilnya bisa memunculkan multiplier effect ekonomi bagi masyarakat. Avi mengatakan,”Karena dari multiplier itu kita bisa bayar utang kan? Karena pajak akan meningkat.” Lebih jauh lagi, paradigma terhadap utang, termasuk dalam bentuk obligasi, harus diubah. Selama masa pemerintahan Orde Baru, kebanyakan utang hanya digunakan untuk pengeluaran rutin, menutupi defisit anggaran, dan proyek-proyek yang tidak menghasilkan penerimaan. Jika paradigma tersebut tidak diganti, maka utang akan selalu sulit untuk dibayar. “Jadi utang itu harus selalu dikaitkan dengan revenue,” lanjutnya. Avi juga berharap Pemerintah bisa belajar dari kasus pembangunan Jembatan Suramadu. Menurut Avi, sejak awal Suramadu hanya diproyeksikan untuk menjadi sebuah jembatan penghubung antara Pulau Jawa dan Madura, tetapi tidak dipikirkan bagaimana prospek bisnisnya.
Terkait dengan kebijakan di bidang manufaktur, Avi menilai saat ini Pemerintah belum fokus pada pemberian insentif untuk produsen yang menghasilkan produk-produk barang jadi. Avi berujar,” Insentif fiskalnya menurut saya belum banyak. Kalaupun ada stimulus di masa lalu itu lebih banyak pada meningkatkan konsumsi masyarakat, bukan pada produsen.” Perempuan kelahiran Malang, 14 Desember 1961 itu mencontohkan kebijakan terkait ekspor CPO (Crude Palm Oil). Untuk menarik minat investor, Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan pemberian insentif bagi perusahaan yang mengolah CPO menjadi barang jadi.“Sekarang ekspor terbesar kita CPO. Padahal itu barang intermediate, bukan barang jadi. Maka perlu di sini, pabrik-pabrik yang mengelola CPO menjadi barang jadi diberikan insentif,” ungkap Avi.
Alternatif kebijakan lain yang terkait dan bisa dilakukan adalah dengan pemberian insentif bagi para pengusaha garmen. Menurut Avi, industri garmen Indonesia sebenarnya masih mempunyai daya saing. Namun, usia mesin para pengusaha yang rata-rata hanya mampu bertahan selama 30 tahun seringkali menjadi batu sandungan keberlangsungan usaha mereka. Dalam konteks ini, opsi insentif yang bisa diambil Pemerintah contohnya dengan membebaskan pembayaran pajak bagi pengusaha dengan skala investasi tertentu. Misalnya kepada pengusaha yang bersedia melakukan penggantian mesin usahanya sendiri dapat diberikan kebijakan tidak perlu membayar pajak selama tiga tahun.
Utang Dalam Negeri dan Luar Negeri
Dalam kesempatan yang sama, Avi juga menyampaikan pandangannya soal manajemen utang dalam dan luar negeri. Pengamat ekonomi lulusan Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas Atmajaya itu menilai Pemerintah mengambil sikap terlalu berhati-hati dalam pengelolaan utang. Hal ini antara lain bisa diukur dari pencanangan defisit anggaran yang hanya sebesar 1,2% dari APBN. Padahal dalam pandangan Avi, target 3% defisit anggaran tidak akan menimbulkan masalah selama bisa meningkatkan belanja, khususnya belanja pembangunan. Ia membandingkan dengan pencanangan defisit anggaran sebesar 8% oleh Pemerintah Amerika Serikat pada tahun yang sama dengan prioritas untuk konsumsi masyarakatnya saja. Avi pun kembali menekankan bahwa paradigma utang mesti diubah. Jika dulu utang hanya dianggap menguntungkan pihak asing, maka penerbitan Surat Utang Negara (SUN) saat ini dirasakan bisa lebih fleksibel dalam pemanfaatannya.
Mengenai posisi utang dalam negeri yang mulai meningkat, Avi mencoba memberikan solusi berupa peningkatan kemandirian dalam pendapatan pajak. Menurutnya, intensifikasi pajak saat ini belum berjalan baik. Dengan jumlah wajib pajak yang hanya berkisar 17 juta jiwa dari total angkatan kerja formal sebesar 30 juta jiwa, Pemerintah tampak belum optimal menyangkut kemandirian pajak. Avi menilai Pemerintah cenderung mengambil kebijakan untuk menaikkan besaran pajak yang harus dibayarkan wajib pajak daripada meningkatkan jumlah wajib pajak.” Intensifikasi terhadap wajib pajak belum dikejar. Jangan mengejar orang yang sudah kena (pajak) dinaikin lagi,” ungkap Avi.
Prospek Pasar Modal
Peraih gelar S2 FISIP UI jurusan Administrasi Niaga itu juga memprediksi kondisi pasar modal Indonesia masih akan bagus seperti pada tahun 2010. Bahkan IHSG diramalkan bisa menembus kisaran 4300. Menurut Avi, tidak banyaknya pilihan para investor dalam dan luar negeri untuk menanamkan investasinya menjadi pemicu gairah pasar modal Indonesia. Misalkan para investor ingin menanamkan modal di China. Negara tersebut dikenal sangat ketat dalam pasar modalnya. Jika ingin menanamkan modal ke Hongkong, kondisinya belum sebaik Indonesia. “Kemana lagi?” cetus Avi. Lebih jauh, ia menyatakan kondisi pasar modal Indonesia yang terbuka sangat disukai para investor. “Jadi Indonesia ini sudah yang paling super terbuka. Menurut saya, itu yang sangat disukai oleh para investor,” lanjut Avi. Walaupun begitu, ia menekankan bahwa Pemerintah tetap perlu memperhatikan ancaman inflasi yang bisa cukup besar berkisar 7-7,5% di tahun ini.
Prospek Nilai Tukar Rupiah
Sinyal positif juga datang dari nilai tukar rupiah. Menurut Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) tersebut, sejauh capital inflow masih besar, kecenderungan penguatan rupiah juga akan meningkat. Pada tahun ini, Avi memperkirakan rupiah mampu bertahan di level 8700-9300 per dollar Amerika.“Masih akan menguat. Karena normalnya rupiah pada posisi 10.000-10.500 per dollar Amerika,” tutur Avi. Dalam kondisi demikian, sektor swasta seharusnya bisa menanamkan lebih banyak modal untuk investasi. Menurut Avi, perekonomian Indonesia pada periode ini sebenarnya adalah momentum yang tepat bagi para investor untuk berinvestasi karena selama hampir 10 tahun banyak sekali perusahaan yang tidak melakukan investasi. Untuk menarik minat investor, Pemerintah juga perlu memberikan kepastian kepada para pengusaha.
Lanjut Avi, kebijakan-kebijakan yang telah dibuat paling tidak seharusnya tidak diubah sedemikian cepat. Avi menerangkan,”Sekarang ini kenapa investor tidak mau banyak investasi? Karena ganti pemimpin ganti kebijakan.” Avi mengambil contoh banyaknya kredit macet saat ini yang salah satunya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang tiba-tiba berubah. “Misalnya peruntukan tanah. Sudah ditanami sawit, tiba-tiba peruntukannya untuk hutan yang dilindungi. Yang kedua, kita memang harus punya (kebijakan) jangka menengah panjang supaya nanti kalau ganti presiden, ganti kepala daerah, tidak berubah-ubah kebijakan,” sambung Avi. Menjadikan pajak sebagai stimulus pergerakkan kegiatan sektor-sektor riil, selain sebagai salah satu variabel penerimaan negara, adalah cara lain untuk menarik minat investor.
Faktor-Faktor Yang Harus Diwaspadai
Avi memperkirakan ada tiga faktor yang harus diwaspadai pada perekonomian nasional di tahun 2011. Pertama adalah ancaman krisis likuiditas. Ketika pasar modal mengalami stagnansi pada suatu titik tertentu, para pelaku pasar cenderung akan melakukan aksi ambil untung yang menyebabkan arus dana keluar menjadi besar. Sementara undang-undang jaring pengaman sektor keuangan yang salah satu tujuannya untuk mengantisipasi permasalahan ini belum disetujui DPR. Undang-Undang tersebut, antara lain dapat menjadi landasan peraturan yang sah manakala terjadi situasi dimana aliran dana keluar begitu besar. Misalnya karena clearing nasabah di sebuah bank sehingga Pemerintah perlu menyiapkan dana talangan. Contoh lain yang juga harus diantisipasi adalah jika terjadi kondisi dimana Pemerintah tidak memiliki alokasi dana yang cukup sementara harus melaukan buyback terkait Surat Utang Negara (SUN) yang telah dijual kepada masyarakat.
Untuk menangani ancaman masalah likuiditas di atas, undang-undang jaring pengaman sektor keuangan perlu segera disetujui DPR. Jika sudah disetujui, perlu kerja sama yang baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengimplementasikan undang-undang tersebut. Di samping itu, kontrol devisa juga mutlak dilakukan Pemerintah. Kurangnya kontrol terhadap dana yang keluar dan masuk mengakibatkan kalangan dunia usaha menjadi kurang tertarik karena tidak adanya range dalam menentukan nilai tukar rupiah. “Ketika (banyak dana) keluar, rupiah melemah. Ketika (banyak dana) masuk, rupiah menguat,” kata Avi.
Faktor kedua yang harus diantisipasi adalah kurang optimalnya pertumbuhan di sektor riil. Hal ini bisa terjadi apabila Pemerintah hanya memanfaatkan momentum masuknya capital inflow yang deras hanya untuk sektor pasar modal. Dari situ, pertumbuhan di sektor riil bisa kurang optimal karena keuntungan hanya dinikmati kalangan tertu yang “bermain” di lantai bursa. Avi kembali menegaskan bahwa jika Pemerintah menginginkan pertumbuhan berkualitas juga mencakup sektor riil, maka pilihan mengeluarkan obligasi terkait bidang infrastruktur mestinya dijalankan.
Faktor ketiga adalah inflasi. Menurut Avi, problema energi dan pangan internasional sedikit banyak berpengaruh pada tingkat inflasi dalam negeri. Negara-negara maju di Amerika dan Eropa saat ini cenderung mengalami musim dingin yang lebih panjang sehingga membutuhkan pasokan energi yang lebih besar. “Nah itu otomatis harga BBM akan naik,” kata Avi. Dengan kondisi demikian, Pemerintah perlu menentukan antisipasi kebijakan yang akan diambil, misalnya apakah subsidi BBM akan dikurangi atau tidak. Sementara itu, terkait masalah pangan, Pemerintah juga dianjurkan untuk melakukan langkah antisipasi. Sebagai negara maju, China sudah menyiapkan stok pangan dalam negeri besar-besaran sejak 2-3 tahun yang lalu. Mereka bahkan tidak melakukan ekspor demi menjaga ketahanan pangan dalam negeri. “ Kita enggak menyiapkan itu,” sambung Avi.
Terkait masalah pangan dan energi yang dapat mempengaruhi tingkat inflasi, Avi mencatat dua masalah pokok, yaitu stok dan distribusi. Masalah kurangnya infrastruktur, terutama di luar Jawa, memberikan kontribusi yang besar terhadap distribusi pangan. Avi menyarankan perlunya keterlibatan Pemerintah Daerah yang lebih jauh untuk menangani persoalan ini.”Supaya mereka mencari alternatif dalam menyelesaikan masalah pangan maupun energi,” pungkas Avi.
Uraian ini dibuat berdasarkan wawancara saya dan dua rekan kantor saya, Ari dan Iin dengan Ibu Aviliani pada tanggal 5 Januari 2011 di kantor beliau di kawasan Jakarta Selatan. Artikel ini menjadi salah satu artikel dalam Majalah Media Keuangan Kementerian Keuangan edisi Januari 2011.
0 komentar:
Posting Komentar