Desa Renokenongo dan Kedungbendo yang tergenang lumpur
Banjir Lumpur Panas
Sidoarjo atau lebih dikenal sebagai bencana Lumpur Lapindo,
adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas
Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006.
Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya
kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di
sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Lokasi
Lokasi semburan lumpur
ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah
selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan.
Lokasi pusat semburan
hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan
sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok
Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut
diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur
tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan.
Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan
pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan
pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Namun bahan tulisan lebih
banyak yang condong kejadian itu adalah akibat pemboran.
Lokasi semburan lumpur
tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya
Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta
jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi,Indonesia
Perkiraan
penyebab kejadian
Lokasi semburan lumpur
Ada yang mengatakan
bahwa lumpur Lapindo meluap karena kegiatan PT Lapindo di dekat lokasi itu.
Lapindo Brantas
melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan
menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak
itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006,
setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur
tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai
formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang
selubung bor (casing ) yang
ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation
loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida
formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain
awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150
kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi
pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press
Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari
kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8
inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi
Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa
Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah.
Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona
Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor
di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan
memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi
Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing
lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure
(bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out)
tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).
Underground Blowout (semburan liar
bawah tanah)
Setelah kedalaman 9297
kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi
Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu
gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur
yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di
batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo
kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya
lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar
(terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga
dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow
Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur
pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick.
Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik
ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface
casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis
tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural
fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan
perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup,
maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih
mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface
blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur
itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa
untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di Indonesia setiap tindakan harus
seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah
disetujui oleh BP MIGAS.
Dalam AAPG 2008
International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town
International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008,
merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of
Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan
pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung GEMPA YOGYA sebagai
penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan PEMBORAN sebagai penyebab,
13 (tiga belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pemboran sebagai
penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini.
Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan
kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pemboran.
Volume
lumpur
Berdasarkan beberapa
pendapat ahli lumpur keluar disebabkan karena adanya patahan, banyak tempat di
sekitar Jawa Timur sampai ke Madura seperti Gunung Anyar di Madura,
"gunung" lumpur juga ada di Jawa Tengah (Bleduk Kuwu). Fenomena ini
sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Jumlah lumpur di
Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar 100.000 meter kubik perhari, yang
tidak mungkin keluar dari lubang hasil "pemboran" selebar 30 cm. Dan
akibat pendapat awal dari WALHI maupun Meneg Lingkungan Hidup yang mengatakan
lumpur di Sidoarjo ini berbahaya, menyebabkan dibuat tanggul di atas tanah
milik masyarakat, yang karena volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung
seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi
semakin luas.
Hasil
uji lumpur
Beberapa hasil pengujian
|
||
Parameter
|
Hasil uji maks
|
Baku Mutu
(PP Nomor 18/1999) |
Arsen
|
0,045 Mg/L
|
5 Mg/L
|
Barium
|
1,066 Mg/L
|
100 Mg/L
|
Boron
|
5,097 Mg/L
|
500 Mg/L
|
Timbal
|
0,05 Mg/L
|
5 Mg/L
|
Raksa
|
0,004 Mg/L
|
0,2 Mg/L
|
Sianida Bebas
|
0,02 Mg/L
|
20 Mg/L
|
Trichlorophenol
|
0,017 Mg/L
|
2 Mg/L (2,4,6 Trichlorophenol)
400 Mg/L (2,4,4 Trichlorophenol) |
Berdasarkan pengujian
toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo, Corelab dan Bogorlab)
diperoleh kesimpulan ternyata lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 baik
untuk bahan anorganik seperti Arsen, Barium, Boron, Timbal, Raksa, Sianida
Bebas dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti Trichlorophenol,
Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform dan sebagainya. Hasil pengujian
menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu.[1]
Hasil pengujian LC50
terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun organisme akuatik
lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa lumpur tersebut tidak
berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50 adalah pengujian
konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50 persen hewan uji mati.
Hasil pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki nilai LC50 antara
56.623,93 sampai 70.631,75 ppm Suspended Particulate Phase (SPP)
terhadap larva udang windu dan di atas 1.000.000 ppm SPP terhadap Daphnia
carinata. Sementara berdasarkan standar EDP-BPPKA Pertamina,
lumpur dikatakan beracun bila nilai LC50-nya sama atau kurang dari 30.000 mg/L
SPP.
Di beberapa negara,
pengujian semacam ini memang diperlukan untuk membuang lumpur bekas pengeboran
(used drilling mud) ke dalam laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari
30.000 Mg/L SPP, lumpur dapat dibuang ke perairan.
Namun Simpulan dari Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan hasil berbeda, dari hasil penelitian Walhi
dinyatakan bahwa secara umum pada area luberan lumpur dan sungai Porong telah
tercemar oleh logam kadmium (Cd) dan timbal (Pb)
yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi kadarnya jauh di atas ambang batas.
Dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata lumpur Lapindo dan
sedimen Sungai Porong kadar timbal-nya sangat besar yaitu mencapai 146 kali
dari ambang batas yang telah ditentukan. (lihat: Logam Berat dan
PAH Mengancam Korban Lapindo)
Berdasarkan PP No 41
tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam lingkungan
adalah 230 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/kg.
Maka dari hasil analisis di atas diketahui bahwa seluruh titik pengambilan sampel
lumpur Lapindo mengandung kadar Chrysene di atas ambang batas.
Sedangkan untuk Benz(a)anthracene hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20,
yang kesemunya di atas ambang batas.
Dengan fakta sedemikian
rupa, yaitu kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2000 kali di atas
ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia dan
lingkungan:
- Bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan)
- Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan kulit
- Kanker
- Permasalahan reproduksi
- Membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit
Dampak PAH dalam lumpur
Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan terlihat sekarang,
melainkan nanti 5-10 tahun kedepan. Dan yang paling berbahaya adalah keberadaan
PAH ini akan mengancam kehidupan anak cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal
di sekitar semburan lumpur Lapindo beserta ancaman terhadap kerusakan
lingkungan. Namun sampai Mei 2009 atau tiga tahun dari kejadian awal ternyata
belum terdapat adanya korban sakit atau meninggal akibat lumpur tersebut.
Hasil analisis logam
pada materi
Parameter
|
Satuan
|
Kep. MenKes no 907/2002
|
Lumpur Lapindo
|
Air Lumpur Lapindo
|
Sedimen Sungai Porong
|
Air Sungai Porong
|
Kromium
(Cr)
|
mg/L
|
0,05
|
nd
|
nd
|
nd
|
Nd
|
Kadmium
(Cd)
|
mg/L
|
0,003
|
0,3063
|
0,0314
|
0,2571
|
0,0271
|
Tembaga
(Cu)
|
mg/L
|
1
|
0,4379
|
0,008
|
0,4919
|
0,0144
|
Timbal
(Pb)
|
mg/L
|
0,05
|
7,2876
|
0,8776
|
3,1018
|
0,6949
|
Dampak
Peta Semburan
Semburan lumpur ini
membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak
Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat
maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun.
- Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
- Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
- Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
- Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja.
- Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)
- Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.
- Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan
- Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
- Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah [2].
- Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam [3].
- Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
- Tak kurang 600 hektar lahan terendam.
- Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.
Penutupan ruas jalan tol
ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan
Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini
berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri
utama di Jawa Timur.
Upaya
penanggulangan
Rumah yang terendam lumpur panas
Sejumlah upaya telah
dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur, diantaranya dengan membuat tanggul
untuk membendung area genangan lumpur. Namun demikian, lumpur terus menyembur
setiap harinya, sehingga sewaktu-waktu tanggul dapat jebol, yang mengancam
tergenanginya lumpur pada permukiman di dekat tanggul. Jika dalam tiga bulan
bencana tidak tertangani, adalah membuat waduk dengan beton pada lahan seluas
342 hektar, dengan mengungsikan 12.000 warga. Kementerian Lingkungan Hidup
mengatakan, untuk menampung lumpur sampai Desember 2006, mereka menyiapkan 150
hektare waduk baru. Juga ada cadangan 342 hektare lagi yang sanggup memenuhi
kebutuhan hingga Juni 2007. Akhir Oktober, diperkirakan volume lumpur sudah
mencapai 7 juta m3.Namun rencana itu batal tanpa sebab yang jelas.
Badan Meteorologi dan
Geofisika meramal musim hujan bakal datang dua bulanan lagi. Jika perkira-an
itu tepat, waduk terancam kelebihan daya tampung. Lumpur pun meluap ke segala
arah, mengotori sekitarnya.
Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) memperkirakan, musim hujan bisa membuat tanggul
jebol, waduk-waduk lumpur meluber, jalan tol terendam, dan lumpur diperkirakan
mulai melibas rel kereta. Ini adalah bahaya yang bakal terjadi dalam hitungan
jangka pendek.
Sudah ada tiga tim ahli
yang dibentuk untuk memadamkan lumpur berikut menanggulangi dampaknya. Mereka
bekerja secara paralel. Tiap tim terdiri dari perwakilan Lapindo, pemerintah,
dan sejumlah ahli dari beberapa universitas terkemuka. Di antaranya, para pakar
dari ITS, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada. Tim
Satu, yang menangani penanggulangan lumpur, berkutat dengan skenario pemadaman.
Tujuan jangka pendeknya adalah memadamkan lumpur dan mencari penyelesaian cepat
untuk jutaan kubik lumpur yang telah terhampar di atas tanah.
Skenario
penghentian semburan lumpur
Ada pihak-pihak yang
mengatakan luapan lumpur ini bisa dihentikan, dengan beberapa skenario dibawah
ini, namun asumsi luapan bisa dihentikan sampai tahun 2009 tidak berhasil sama
sekali, yang mengartikan luapan ini adalah fenomena alam.
Skenario pertama, menghentikan luapan lumpur dengan menggunakan snubbing
unit pada sumur Banjar Panji-1. Snubbing unit adalah suatu sistem
peralatan bertenaga hidraulik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan well-intervention
& workover (melakukan suatu pekerjaan ke dalam sumur yang sudah
ada). Snubbing unit ini digunakan untuk mencapai rangkaian mata bor
seberat 25 ton dan panjang 400 meter yang tertinggal pada pemboran awal.
Diharapkan bila mata bor tersebut ditemukan maka ia dapat didorong masuk ke
dasar sumur (9297 kaki) dan kemudian sumur ditutup dengan menyuntikan semen dan
lumpur berat. Akan tetapi skenario ini gagal total. Rangkaian mata bor tersebut
berhasil ditemukan di kedalaman 2991 kaki tetapi snubbing unit gagal
mendorongnya ke dalam dasar sumur.
Skenario kedua dilakukan dengan cara melakukan pengeboran miring (sidetracking)
menghindari mata bor yang tertinggal tersebut. Pengeboran dilakukan dengan
menggunakan rig milik PT Pertamina
(persero). Skenario kedua ini juga gagal karena telah ditemukan
terjadinya kerusakan selubung di beberapa kedalaman antara 1.060-1.500 kaki,
serta terjadinya pergerakan lateral di lokasi pemboran BJP-1. Kondisi itu
mempersulit pelaksanaan sidetracking. Selain itu muncul
gelembung-gelembung gas bumi di lokasi pemboran yang dikhawatirkan membahayakan
keselamatan pekerja, ketinggian tanggul di sekitar lokasi pemboran telah lebih
dari 15 meter dari permukaan tanah sehingga tidak layak untuk ditinggikan lagi.
Karena itu, Lapindo Brantas melaksanakan penutupan secara permanen sumur BJP-1.
Skenario ketiga, pada tahap ini, pemadaman lumpur dilakukan dengan
terlebih dulu membuat tiga sumur baru (relief well). Tiga lokasi
tersebut antara lain: Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur Banjar
Panji-1. Kedua, sekitar 500 meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1.
Ketiga, sekitar utara timur laut dari Sumur Banjar Panji-1. Sampai saat ini
skenario ini masih dijalankan.
Ketiga skenario beranjak
dari hipotesis bahwa lumpur berasal dari retakan di dinding sumur Banjar
Panji-1. Padahal ada hipotesis lain, bahwa yang terjadi adalah fenomena gunung
lumpur (mud volcano), seperti di Bledug Kuwu di Purwodadi, Jawa Tengah. Sampai sekarang, Bledug Kuwu terus memuntahkan lumpur
cair hingga membentuk rawa.
Rudi Rubiandini, anggota
Tim Pertama, mengatakan bahwa gunung lumpur hanya bisa dilawan dengan
mengoperasikan empat atau lima relief well sekaligus. Semua sumur
dipakai untuk mengepung retakan-retakan tempat keluarnya lumpur. Kendalanya
pekerjaan ini mahal dan memakan waktu. Contohnya, sebuah rig (anjungan
pengeboran) berikut ongkos operasionalnya membutuhkan Rp 95 miliar. Biaya bisa
membengkak karena kontraktor dan rental alat pengeboran biasanya memasang tarif
lebih mahal di wilayah berbahaya. Paling tidak kelima sumur akan membutuhkan Rp
475 miliar. Saat ini pun sulit mendapatkan rig yang menganggur di tengah
melambungnya harga minyak.
Rovicky Dwi Putrohari,
seorang geolog independen, menulis bahwa di lokasi sumur Porong-1, tujuh
kilometer sebelah timur Banjar Panji-1, terlihat tanda-tanda geologi yang
menunjukkan luapan lumpur pada zaman dulu, demikian analisisnya. Rovicky
mencatat sebuah hal yang mencemaskan: semburan lumpur di Porong baru berhenti
dalam rentang waktu puluhan hingga ratusan tahun.
Dalam dokumen Laporan
Audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 disebutkan temuan-temuan
bahwa upaya penghentian semburan lumpur tersebut dengan teknik relief well
tidak berhasil disebabkan oleh faktor-faktor nonteknis, diantaranya: peralatan
yang dibutuhkan tidak disediakan. Senada dengan temuan Badan Pemeriksa
Keuangan, Rudi Rubiandini juga menyatakan bahwa upaya penghentian semburan
lumpur dengan teknik relief well tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan
kekurangan dana.
Antisipasi
kegagalan menghentikan semburan lumpur
Jika skenario
penghentian lumpur terlambat atau gagal maka tanggul yang disediakan tidak akan
mampu menyimpan lumpur panas sebesar 126,000 m3 per hari. Pilihan penyaluran
lumpur panas yang tersedia pada pertengahan September 2006 hanya tinggal
dua.Skenario ini dibuat kalau luapan lumpur adalah kesalahan manusia,
seandainya luapan lumpur dianggap sebagai fenomena alam, maka skenario yang
wajar adalah 'bagaimana mengalirkan lumpur kelaut' dan belajar bagaimana hidup
dengan lumpur.
Pilihan pertama adalah meneruskan upaya penangangan lumpur di lokasi
semburan dengan membangun waduk tambahan di sebelah tanggul-tanggul yang ada
sekarang. Dengan sedikit upaya untuk menggali lahan ditempat yang akan
dijadikan waduk tambahan tersebut agar daya tampungnya menjadi lebih besar.
Masalahnya, untuk membebaskan lahan disekitar waduk diperlukan waktu, begitu
juga untuk menyiapkan tanggul yang baru, sementara semburan lumpur secara terus
menerus, dari hari ke hari, volumenya terus membesar.
Pilihan kedua adalah membuang langsung lumpur panas itu ke Kali Porong. Sebagai tempat penyimpanan lumpur, Kali Porong ibarat
waduk yang telah tersedia, tanpa perlu digali, memiliki potensi volume
penampungan lumpur panas yang cukup besar. Dengan kedalaman 10 meter di bagian
tengah kali tersebut, bila separuhnya akan diisi lumpur panas Sidoardjo, maka
potensi penyimpanan lumpur di Kali Porong sekitar 300,000 m3 setiap
kilometernya. Dengan kata lain, kali Porong dapat membantu menyimpan lumpur
sekitar 5 juta m3, atau akan memberikan tambahan waktu sampai lima bulan bila
volume lumpur yang dipompakan ke Kali Porong tidak melebihi 50,000 m3 per hari.
Bila yang akan dialirkan ke Kali Porong adalah keseluruhan lumpur yang
menyembur sejak awal Oktober 2006, maka volume lumpur yang akan pindah ke Kali
Porong mencapai 10 juta m3 pada bulan Desember 2006. Volume lumpur yang begitu
besar membutuhkan frekuensi dan volume penggelontoran air dari Sungai Brantas yang tinggi, dan kegiatan pengerukan dasar sungai yang
terus menerus, agar Kali Porong tidak berubah menjadi waduk lumpur. Sedangkan
untuk mencegah pengembaraan koloida lumpur Sidoardjo di perairan Selat Madura,diperlukan upaya pengendapan dan stabilisasi lumpur
tersebut di kawasan pantai Sidoardjo.
Para pakar yang
melakukan simposium di ITS pada minggu kedua September, menyampaikan informasi
bahwa kawasan pantai di Kabupaten Sidoardjo mengalami proses reklamasi pantai
secara alamiah dalam beberapa dekade terakhir disebabkan oleh proses
sedimentasi dan dinamika perairan Selat Madura. Setiap tahunnya, pantai
Sidoardjo bertambah 40 meter. Sehingga upaya membentuk kawasan lahan basah di
pantai yang terbuat dari lumpur panas Sidoardjo, merupakan hal yang selaras
dengan proses alamiah reklamasi pantai yang sudah berjalan beberapa dekade
terakhir.
Dengan mengumpulkan
lumpur panas Sidoarjo ke tempat yang kemudian menjadi lahan basah yang akan
ditanami oleh mangrove, lumpur tersebut dapat dicegah masuk ke Selat Madura
sehingga tidak mengancam kehidupan nelayan tambak di kawasan pantai Sidoardjo
dan nelayan penangkap ikan di Selat Madura. Pantai rawa baru yang akan menjadi
lahan reklamasi tersebut dikembangkan menjadi hutan bakau yang lebat dan subur,
yang bermanfaat bagi pemijahan ikan, daerah penyangga untuk pertambakan udang.
Pantai baru dengan hutan bakau di atasnya dapat ditetapkan sebagai kawasan
lindung yang menjadi sumber inspirasi dan sarana pendidikan bagi masyarakat
terhadap pentingnya pelestarian kawasan pantai..
Tim
Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur
Pada 9 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani
surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di
Sidoarjo, yaitu Keppres Nomor 13 Tahun 2006. Dalam Keppres itu disebutkan, tim
dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga
infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko
lingkungan paling kecil. Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum,
dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberi mandat selama enam bulan. Seluruh
biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo
Brantas.Namun upaya Timnas yang didukung oleh Rudy Rubiandini ternyata gagal
total walaupun telah menelan biaya 900 milyar rupiah.
Keputusan
Pemerintah
Rapat Kabinet pada 27 September 2006
akhirnya memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali
Porong. Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan
lumpur dari 50,000 meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik per hari,
untuk memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur
tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti
pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.
Pendapat
Kontra pembuangan lumpur secara langsung
Banyak pihak menolak
rencana pembuangan ke laut ini, diantaranya Walhi [4] dan ITS [5]. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, 5 September 2006, menyatakan luapan lumpur Lapindo mengakibatkan
produksi tambak pada lahan seluas 989 hektar di dua kecamatan mengalami
kegagalan panen. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) memperkirakan kerugian
akibat luapan lumpur pada budidaya tambak di kecamatan Tanggulangin dan Porong
Sidoarjo, Jawa Timur, mencapai Rp10,9 miliar per tahun. Dan rencana pembuangan
lumpur yang dilakukan dengan cara mengalirkannya ke laut melalui Sungai Porong,
bisa mengakibatkan dampak yang semakin meluas yakni sebagian besar tambak di
sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di sekitarnya, karena
lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor sedimen sepanjang
pantai. [6]
Dampak lumpur itu bakal
memperburuk kerusakan ekosistem Sungai Porong. Ketika masuk ke laut, lumpur
otomatis mencemari Selat Madura dan sekitarnya. Areal tambak seluas 1.600 hektare di
pesisir Sidoarjo akan terpengaruh.
Alternatif yang sudah
dikaji lembaga seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya, dengan memisahkan air dari endapan lumpur lalu membuang
air ke laut. Lumpur itu mengandung 70 persen air, sisanya bahan endapan. Kalau
air bisa dibuang ke laut, tentu danau penampungan tak perlu diperlebar, dan
tekanan pada tanggul bisa dikurangi. Sampai tahun 2009 ternyata teori itu tidak
bisa membuktikan adanya dampak tersebut.
Penetapan
tersangka
Dalam kasus ini, Polda
Jawa Timur telah menetapkan 13 tersangka yakni :
- Ir. EDI SUTRIONO selaku Drilling Manager PT. Energy Mega Persada, Tbk.
- Ir. NUR ROCHMAT SAWOLO, MESc selaku Vice President Drilling Share Services PT. Energy Mega Persada, Tbk.
- Ir. RAHENOD selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa.
- SLAMET BK selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa.
- SUBIE selaku Drilling Supervisor PT. Medici Citra Nusa.
- SLAMET RIYANTO selaku Project Manager PT. Medici Citra Nusa.
- YENNY NAWAWI, SE selaku Dirut PT. Medici Citra Nusa.
- SULAIMAN Bin H.M. ALI selaku Rig Superintendent PT. Tiga Musim Mas Jaya.
- SARDIANTO selaku Tool Pusher PT. Tiga Musim Mas Jaya.
- LILIK MARSUDI selaku Driller PT. Tiga Musim Mas Jaya.
- WILLEM HUNILA selaku Company Man Lapindo Brantas, Inc.
- Ir. H. IMAM PRIA AGUSTINO selaku General Manager Lapindo Brantas, Inc.
- Ir. ASWAN PINAYUNGAN SIREGAR selaku mantan General Manager Lapindo Brantas, Inc.
Namun perkara pidana tersebut
dihentikan oleh penyidik Polda Jawa Timur dengan alasan bahwa dalam perkara
perdatanya gugatan YLBHI dan Walhi kepada Lapindo dan pemerintah telah gagal.
Selain itu, adanya perbedaan pendapat para ahli. Gerakan Menutup Lumpur Lapindo
pernah mengajukan nama-nama ahli tambahan, para ahli terkemuka Indonesia dan
luar negeri yang tergabung dalam Engineer Drilling Club (EDC) yang mendukung
fakta kesalahan pemboran berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
tersebut, tetapi ditolak oleh penyidik Polda Jawa Timur (tidak ditanggapi).
Para tersangka dijerat
Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42
tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara.
"Otomatis UU pencemaran lingkungan hidup ini sudah termasuk kejahatan
korporasi karena merusak lingkungan hidup," kata Wakil Kepala Divisi Humas
Polri Brigjen Anton Bachrul Alam yang sejak tahun 2009
menjadi Kapolda Jawa Timur.
Kritik
Pemerintah
dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat
adalah korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus mengungsi dan
kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak. Pemerintah
hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga
berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata harga tanah dibawah Rp. 100 ribu-
dibeli oleh Lapindo sebesar Rp 1 juta dan bangunan Rp 1,5 juta masing-masing
permeter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan
jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan
infrastruktur yang rusak.Hal ini dianggap wajar karena banyak media hanya menuliskan
data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.
Salah
satu pihak yang paling mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo adalah
aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam lambatnya pemerintah dalam menangani
lumpur, mereka juga menganggap aneka solusi yang ditawarkan pemerintah dalam
menangani lumpur akan melahirkan masalah baru, salah satunya adalah soal wacana
bahwa lumpur akan dibuang ke laut karena tindakan tersebut justru berpotensi
merusak lingkungan sekitar muara. [7][8]
PT
Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang
telah disepakati bersama dengan korban.Menurut sebagian media, padahal
kenyataannya dari 12.883 buah dokumen Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen
yang belum dibayarkan karena status tanah yang belum jelas. Namun para warga
korban banyak yang menerangkan kepada Komnas HAM dalam penyelidikannya bahwa
para korban sudah diminta menandatangani kuitansi lunas oleh Minarak Lapindo
Jaya, padahal pembayarannya diangsur belum lunas hingga sekarang. Dalam
keterangannya kepada DPRD Sidoarjo pada Oktober 2010 ini Andi Darusalam
Tabusala mengakui bahwa dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000 berkas
yang diselesaikan kebanyakan dari korban yang berasal dari Perumtas
Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa banyak keterangan dan
penjelasan yang masih simpang siur dan tidak jelas.
0 komentar:
Posting Komentar