JAKARTA, KOMPAS.com - Perekonomian Indonesia pada 2010 tumbuh 6,1 persen, melampaui target 5,8 persen. Nilai produk domestik bruto naik dari Rp 5.603,9 triliun pada 2009 menjadi Rp 6.422,9 triliun tahun lalu. Namun, pertumbuhan ekonomi ini menimbulkan kesenjangan di masyarakat.
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky di Jakarta, Senin (7/2/2011), mengatakan, kelompok masyarakat yang sangat kaya masih menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga mereka.
Sementara sektor industri berorientasi penciptaan nilai tambah penyerap lapangan kerja, yang menjadi salah satu indikator kesuksesan pertumbuhan ekonomi, justru kian melemah.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengumumkan, pertumbuhan ekonomi pada 2010 dengan nilai produk domestik bruto (PDB) Rp 6.422,9 triliun dan pendapatan per kapita mencapai Rp 27 juta per tahun.
Jumlah ini didapat dari membagi Rp 6.422,9 triliun dengan 237,6 juta penduduk Indonesia.
Rusman menjelaskan, konsumsi rumah tangga menyumbang kue pertumbuhan terbesar, yakni 56,7 persen, disusul investasi 32,2 persen. Idealnya, konsumsi rumah tangga terus menurun hingga di bawah 50 persen, seperti yang terjadi di negara-negara maju.
Pertumbuhan PDB pun kemudian didukung oleh ekspansi investasi, terutama untuk industri manufaktur yang menciptakan lapangan kerja.
Meski demikian, komposisi investasi yang sudah melebihi 30 persen dari PDB telah menunjukkan ada sirkulasi yang bermanfaat bagi perekonomian jangka panjang.
Pertumbuhan ekonomi pada 2010 telah menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 3,34 juta orang. Dengan demikian, menurut Rusman, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi pada 2010 mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi 548.000 orang.
”Ini cukup bagus. Penciptaan lapangan kerja paling besar pertama adalah sektor jasa 325.000 orang. Nomor dua industri pengolahan yang mampu menyerap 220.000 orang,” ujarnya.
Yanuar Rizky berpendapat, konsumsi penopang pertumbuhan ekonomi baru dikatakan berkualitas apabila mampu mendorong kegiatan produksi yang menyerap lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi kita seperti terpisah dari fungsi produksi.
Sektor jasa dari perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh sebesar 8,7 persen dan menjadi penyumbang terbesar terhadap total pertumbuhan PDB, yakni 1,5 persen.
Sumber pertumbuhan PDB terbesar lain adalah angkutan dan industri, masing-masing 1,2 persen.
Konsumsi rumah tangga masih menopang pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi 2,7 persen dan investasi 2 persen.
Menurut Yanuar, konsumsi rumah tangga yang tinggi tersebut sebagian besar didukung oleh kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Konsumsi nasional pun ternyata gagal mendorong kegiatan produksi karena sebagian besar kebutuhan domestik didapat lewat impor.
Yanuar mengutip laporan Asia Wealth Report 2010 yang memaparkan secara rinci ke mana saja distribusi investasi kekayaan orang-orang kaya di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia.
Kelompok orang kaya Indonesia menyimpan 33 persen aset kekayaan mereka dalam bentuk deposito atau tabungan, real estat (22 persen), saham (19 persen), reksa dana pendapatan tetap (16 persen), dan investasi alternatif, seperti kurs mata uang asing atau komoditas (10 persen).
”Jadi, kebanyakan peningkatan pendapatan itu berasal dari deposito dan instrumen finansial lain dan yang menikmati hanya 200.000 pemilik rekening di atas Rp 100 juta, menurut data BPS. Bagaimana bisa berkualitas kalau pertumbuhan lebih rendah dari inflasi (6,96 persen) dan orang yang tumbuh saat ini hanya pemilik modal yang mampu bermain di pasar uang, bukan berproduksi,” ujar Yanuar.
Industri terpuruk
Kalangan pengusaha juga turut mengkhawatirkan adanya kesenjangan lapisan masyarakat kaya dan miskin. Apabila pemerintah terlambat menanganinya, akan terjadi persoalan sosial yang berdampak terhadap stabilitas ekonomi dan politik.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengemukakan, pengusaha terus berusaha keras menjadi lokomotif perekonomian nasional. Namun, upaya keras tersebut akan sia-sia apabila pemerintah tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki kondisi yang ada, seperti infrastruktur, penegakan hukum, pasokan energi, dan ekonomi biaya tinggi.
”Industri manufaktur masih tertolong dengan pertumbuhan sektor otomotif dan elektronik. Toyota dan Honda masih tumbuh karena jumlah penduduk terus bertambah, elektronik masih maju karena mengekspor,” ujar Sofjan.
Namun, kondisi ini dikhawatirkan tidak bertahan lama jika pemerintah tak segera mengubah kebijakan bea masuk yang memanjakan importir. Kebijakan tersebut, termasuk menaikkan tarif dasar listrik, menghantui dunia usaha.
Minat pengusaha memproduksi barang menurun. Mereka kini menjadi lebih pragmatis dan sebagian mulai beralih menjadi importir sehingga lambat laun mempersempit penciptaan lapangan kerja baru.
Kondisi ini yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Yang menikmati pertumbuhan hanya sebagian kecil masyarakat dan masih banyak yang hidup pas-pasan.
”Bagaimana mau tumbuh baik kalau pemerintah tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan industri manufaktur. Pengusaha juga tidak mau terkena getah dan setback kalau terjadi apa-apa akibat dampak kesenjangan pendapatan,” ujar Sofjan.
Dalam laporan BPS, kontribusi industri pengolahan dalam PDB merosot selama tiga tahun terakhir.
Pada 2008, industri pengolahan berperan sebesar 27,8 persen dalam PDB, lalu turun menjadi 26,4 persen pada 2009 dan 24,8 persen pada 2010. Industri pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan menyerap sedikitnya 40 juta pekerja dari 108,21 juta pekerja. (ham)
SUMBER : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/08/07152538/Kesenjangan.Ekonomi.Semakin.Lebar
0 komentar:
Posting Komentar