Lantai tiga Masjidil Haram, ba’da (setelah) Isya. Pusaran manusia mengelilingi Ka’bah. Kotak segi empat berselimut qiswah hitam dengan aksara Arab berbenang emas, melingkar, dekat puncaknya.
Makhluk terbaik dari semua penjuru dunia, yang tercantik dan yang tertampan, berkulit putih seperti susu, kemerah-merahan, kuning, cokelat, atau hitam, berkumpul di sini. Wajah mereka bercahaya karena tersapu air wudhu lima kali sehari semalam.
Tidak hanya yang terbaik, yang tua renta dan harus dipapah di kursi roda, bayi munggil, yang kuat dan gagah hingga yang lemah juga bertawaf di sini.
Sebagian mereka berpakaian putih aneh. Mereka yang berumroh hanya mengenakan dua lembar kain putih tanpa jahitan, dililitkan di pinggang dan melintang di dada. Kaum perempuan menutup kepala, tubuh, kedua tangan hingga ke kaki.
Fenomena aneh ini berlanjut ketika lantunan doa dipanjatkan, baik yang di verbalkan maupun rintihan tersembunyi di lubuk hati, di dada setiap jemaah. Ritual tawaf tak pernah henti, siang dan malam, panas dan dingin, seperti tawafnya planet pada bintangnya, galaksi pada semestanya, ion pada protonnya, berputar melawan arah jarum jam.
Jelang akhiir Juni, suhu mencapai 43 derajat, angin bertiup kencang menyayat kulit, memdihkan matah, tetapi langkah jemaah pada saat azan tiba tetap dan tanpa ragu, menembus cuaca yang tak bersahabat, memenuhi panggilan Allah shalat lima waktu dan tinggalkan urusan dunia.
Pusaran tawaf unik itu monoton adanya, namun pada sudut tertentu, di sudut hajar aswad (batu hitam) dekat Pintu Ka’bah terlihat sedikit kekacauan. Sejumlah jemaah berjuang untuk menciumnya.
Laki, perempuan, tua muda, sehat atau cacad, ingin mencium, atau minimal menjamahnya. Seorang askar berbaju cokelat kehijauan, berbaret hitam mencoba mengaturnya. Tangan kirinya memegang tali kain yang dikaitkan ke diding Ka’bah, tangan kan menghalau jemaah lain agar tak berlama-lama mencium sang batu hitam.
Pekerjaan yang melelahkan sebenarnya. Antrian sejajar sisi Ka’bah tak selalu sebaris. Dia bisa jadi dua hingga tiga. Mereka yang antri bisa dikategorikan sebagai orang sabar karena menanti dalam antrian. Tapi kesabaran tak selalu berbuah kemenangan. Setiap saat selalu ada yang tak sabar. Memotong antrian, mendesak, tak peduli pada perasaan. Kalimat, “sabar, ya al haj atau hajjah,” berlalu seperti angin gurun.
Dalam kondisi begini, yang lemah, tua, anak-anak, cacat tak bisa berbuat apa-apa. Hajar aswad adalah batu hitam yang sempat dipertengkarkan kaum Quraisy jahiliyah. Mereka berebut, dan menyatakan sukunyalah yang paling berhak menempelkannya di sudut Ka’bah.
Sebelum pertengkaran itu memuncak, mereka bersepakat untuk menyerahkan urusan itu pada seseorang yang dapat dipercaya. Dia adalah Muhammad. Saat itu kaum Quraisy memilih Muhammad muda karena dia dapat dipercaya. Dia bergelar Al Amin di masa, artinya orang yang dapat dipercaya.
Muhammad meletakkan batu di selembar kain, dan setiap kabilah (suku) diminta memegang ujungnya, lalu secara bersamaan ditempelkan batu hitam itu di sudut Ka’bah. Lalu mengapa setiap kaum muslimin ingin menciumnya? Umar bin Chatab RA, sahabat Nabi Muhammad SAW, yang juga pemimpin Islam setelah Abu Bakar Asshidiq RA pernah mengatakan, dirinya mencium batu itu karena Nabi Muhammad SAW menciumnya.
Umar agaknya menggunakan logika. Sebuah batu tak lebih dari sekadar batu, sehingga tak layak untuk dicium setiap manusia. Namun sebagai pengikut setia dan selalu melakukan apa yang dicontohkan Nabi, maka dia menciumnya juga. Meski Nabi mencium Hajar Aswad, tetapi kegiatan itu tidak dimasukkan ke dalam rukun haji atau umroh.
Kini 14 abad kemudian, ketika Masjidi Haram banyak berubah, lebih luas dan modern, mencium hajar aswad ternyata tidak mudah bagi jemaah biasa.
Mantan Wakil Presiden Megawati (saat itu belum jadi Presiden) ketika Umroh pernah mendapat keistimewaan dalam mencium Hajar Aswad. Setelah tawaf tujuh kali, askar (para penjaga) membuat batas, memisahkan jemaah biasa yang sedang bertawaf dan rombongan Wakil Presiden RI.
Lokasi di depan Hajar Aswad dibersihkan dari jemaah biasa, lalu dengan leluasa Megawati dan rombongan mencium batu hitam yang diikat semacam tembaga putih itu. Sesungguhnya, askar dengan mudah mengatur agar tercipta antrian yang tertib sehingga yang lemah, perempuan, yang cacad dan anak-anak berkesempatan mencium hajar aswad.
Caranya, membuat dua jalur antrian yang sejajar di sisi Ka’bah. Satu untuk pria, satu lagi untuk perempuan, anak-anak dan jemaah berkursi roda. Berbicara tetang kemampuan untuk mengatur ini, sebenarnya sudah terlihat pada hal yang sederhana hingga paling rumit di Masjidil Haram. Misalnya dalam mengatur agar air Zam-zam tetap terisi di tong-tong cokelat lalu meletakkanya di tempat-tempat yang mudah di jangkau di seputaran masjid itu.
Jemaah yang haus –kondisi ini sering mendera saat suhu mencapai 45 derajat di akhir Juni ini– dapat melepas dahaganya. Kemampuan itu juga terlihat pada cara praktis, cepat singkat dalam membersihkan lantai masjid di saat jemaah berlalu lalang. Atau, lihatlah, bagaimana pemerintah Saudi Arabia mengelola 3 juta anggota jemaah haji setiap tahunnya, melayani dan memastikan mereka beribadah sebagaimana mestinya.
Malam ini, sekuen dari perjuangan mencium Hajar Aswad terulang lagi. Di sisi dinding Ka’bah sudah tensusun antrian, tiga meter menjelang target, antrian menjadi dua baris, seorang kakek menyisip dalam antrian pertama. Dua meter menjelang target antrian semakin rapat. Hajar aswad dikepung dari semua penjurunya. Dorong mendorong mulai terjadi.
Di sisi luar, seorang pemuda tampan mencoba antri di kursi roda elektriknya. Satu meter jelang Hajar Aswad dorong mendorong semakin kuat. Dada semakin sesak terhimpit badan dengan badan. Dari sisi paling luar serombongan pemuda tegap berpakaian ihram datang mendesak dengan lafal lailahailllalllah di mulutnya. Dari berlawanan arah kelompok perempuan berdesesakan ingin melakukan hal yang sama.
Seorang ibu berteriak histeris ingin agar dia didahulukan. Seorang pemuda, masih ihramnya, dengan gagah mencoba memotong dan berusaha menyingkirkan setiap orang di depannya. Dari luar, muncul teriakan berulang, dengan bahasa yang tidak dimengerti ke arah antrian baris pertama, sejumlah orang saling berpadangan. Hajar Aswad tinggal sejangkauan tangan.
Antrian dipaksa dibelah, orang tua tadi sudah lemah. Dia ditarik keluar dengan susah payah. Mukanya pucat, dada sesak. Beruntung dia masih selamat lalu dipapah oleh kerabatnya. Kejadian itu hanya beberapa belas detik, konsentrasi jemaah kembali ke batu hitam, bagaimana caranya agar bisa menciumnya, atau minimal menjamah.
Pilihan terakhir agaknya lebih rasional, ketika setiap orang di sekitar batu mulai menunjukkan egonya, tak peduli bahwa orang di sebelahnya adalah muslim muslimah dimana mereka dipertautkan oleh tali persaudaraan sebagai orang yang seiman.
Berdesakan, mendorong, berteriak tak pantas di rumah Allah. Itu tak hanya sebagian pria, kaum wanita juga. Pemuda tampan berkursi roda hanya mampu melihat dan khawatir dirinya pun bisa seperti orang tua tadi. Cara yang aman adalah meninggalkan lokasi Hajar Aswad sambil berharap, suatu saat nanti, ketika jumlah yang tawaf sedikit dia akan mencium batu yang dicium Nabi panutannya.
Atau, mungkin dia berharap akan ada jalur khusus bagi dirinya, dan orang yang lemah lainnya, kaum wanita dan anak-anak, untuk bisa mencium dengan leluasa. Bisa juga dia berharap, kaum muslimin menunjukkan moralitas dan sikap yang terpuji, seperti yang diajarkan Nabi, yakni mendahului yang lemah, mengasihi anak-anak, menghormati wanita, dan mendahului yang tua, serta membantu yang cacad, mencium hajar aswad.
Budaya itu (budaya antri) sebenarnya sudah banyak di lakukan di tempat-tempat umum, di sejumlah negara maju. Mereka tidak membicarakannya, tetapi mempraktiknya.
SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar