Minggu, 04 Desember 2011

Tetap Ada Yang Tersisa (The Short Story)

sambungan dari cerpen   
Dahsyatnya Paris (short story) 

Paris ?! NO !!! (the short story)


By : Irmayani Rizki

######
Sudah. Sudah di tetapkan dalam diri untuk tidak lagi ke tempat itu. Tapi apa hendak diucap, keadaan mengharuskan. Hanya waktu yang bisa menjawab. Akan jadi apa nantinya.

@@@

Gadis itu meletakkan kembali teleponnya dengan gerakan lunglai. Gak semangat, lebih tepatnya pasrah. Ia kembali duduk di sofa. Ia hembuskan nafas. Melirik sedikit ke jam dinding, hanya beberapa jam lagi.

“Aku pulang.” Seru seseorang dan langsung mengecup keningnya. Gadis itu tersenyum, sebentar.

“Tadi mama nelpon.” Lapornya, Agni.

“Terus bilang apa ?” Tanya Cakka. Ia lepas sepatunya, lalu duduk bersila menghadap ke Agni.

“Pokoknya aku gak mau, gak mau.” Bukannya menjawab, Agni malah meracau gak jelas dan langsung memeluk Cakka. Ia memukul-mukul pelan dada Cakka dan tetap mengatakan ‘gak mau’. Cakka jadi bingung sendiri.

“Apanya yang gak mau ?”

“Aku gak mau menuhin keinginan mama. Aku gak mau.”

Cakka semakin bingung. “Memangnya mama minta apa ?”

Agni menegakkan tubuhnya. Mengatur nafasnya. Kemudian menatap Cakka sayu. “Mama nyuruh ke Paris.” Lirihnya. Ia kembali memeluk Cakka. “Aku gak mau. Pokoknya gak mau.”

Cakka tercekat. Ke Paris ? Untuk apa ?

“Untuk apa ke Paris ?”

“Katanya mama kangen aku trus sekalian aku harus menandatangani berkas.” Agni berujar pelan. Ia semakin erat memeluk Cakka. Takut.

“Yaudah, yaudah. Nanti perginya kan bareng aku. Di jamin baik-baik aja deh.” Ujar Cakka menenangkan. Agni melepas pelukannya. Matanya berbinar, namun detik berikutnya sayu kembali. “Lho, kenapa ?”

“Besok dan lusa kan kamu ada meeting besar.”

Cakka menepuk jidatnya. Ia berfikir keras. “Tapi kasihan mama kalau kamu gak turutin.”

“Jadi gimana donk ?Aku ajak Alvin aja deh.” Agni menelan ludah. Salah ngasih ide. Cakka melotot ganas.

“Gak !” Larang Cakka keras. Tuh kan. Cakka jadi marah. “Daripada sama Alvin mending gak usah sekalian. Aku gak percaya sama dia.”

Agni mengangguk cepat. Setuju dengan Cakka. Dia trauma juga sih berduaan sama Alvin. Bisa-bisa ngomongin masa lalu terus.

“Trus gimana donk ? Kak Iel kan lagi di Jepang.”

Cakka masih berfikir. Sebenarnya ada sih yang di jadiin target, tapi dia kurang yakin. Agni harap-harap cemas menunggu perkataan Cakka. Apapun keputusan Cakka pasti ia terima.

“Biar aku yang urus. Kamu tenang aja. Ok sayang ?” Cakka tersenyum manis lalu mencium kening Agni. Agni mengangguk, dia percaya pada Cakka.

@@@

Di pesawat. Kuping Agni udah panas banget ngedenger ocehan-ocehan orang di sebelahnya. Dari tadi ngeluh mulu. Mana nyalah-nyalahin lagi. Menurut Agni nih orang gak tau terimakasih. Udah ongkos di bayarin, tanggungan di tanggung semua. Eh masih ngoceh aja. Apa susahnya sih dimintain tolong dua hari aja. Toh entar Cakka juga nyusul.

“Cerewet banget sih lo.” Agni mulai sebal. Ia tekuk mukanya.

“Biarin. Kalau bukan gara-gara persahabatan, ogah gue nemenin lo. Mana gue mesti bohong lagi ke Shilla.”

Agni terkejut. “Kok bohong ?”

“Gue kan udah janji sama dia gak akan ke Paris lagi.”

“Kenapa gak jujur aja sih ? Lagian kan lo perginya sama gue.” Agni membenarkan letak selimutnya. Ia mendadak kedinginan.

Rio mencibir. “Entar dia curiga gue ada apa-apa sama lo.”

Pletakkk,,,,jitakan Agni mampir di ubun-ubun Rio.

“Otak lo itu yang gak bener. Ngapain juga kita ada apa-apa. Gak penting banget.”

“Idih,,,gue juga ogah ada apa-apa sama lho. Setahun setengah di anggurin. Karatan juga gue.”

Agni melotot ngeri. Rio cepat-cepat nyengir. “Maksud lo ?”

“Peace, Ag. Peace. Kesalahan penggunaan kosakata.”

Agni udah siap-siap nonjok Rio, tangannya udah menggepal. Tiba-tiba terdengar celetukan dari bangku belakang.

“Lucu ya. Pengantin baru. Masih anget-angetnya.” Seorang ibu-ibu modis nyeletuk. Rio langsung tutup muka. Apaan tuh pengantin baru ? Gue masih lajang ting-ting. Rio ngejerit-jerit dalam hati.

Teman di sampingnya ikut nyeletuk. “Tapi kayaknya lagi hamil deh.”

Giliran Agni yang tutup muka. Selimut langsung ia tarik sampai ke ujung kepala. Sialan tuh ibu-ibu, gak di mana-mana ngegosip mulu.

Sreett,,,,selimut Agni di tarik. Agni cemberut.

“Nanti lo sesak.” Ujat Rio, lembut. Ia rapikan selimut Agni menjadi sebatas pinggang. “Segini aja. Udah gih tidur, muka lo udah rada pucat.”

“Thankz.”

Rio hanya mengangguk-angguk kecil. Kemudian ia memasang earphone dan membuka majalah. Agni sekilas memperhatikan Rio. Manis. WOI AGNI MIKIR APA LO ? Agni cepat-cepat menutup matanya. Bisa bahaya.

@@@

“Aduh, Yo. Mual banget.” Agni terus meringis-ringis sambil memegangi perutnya. Sedari turun pesawat tadi Rio di buat panik setengah mati oleh Agni. Agni muntah-muntah terus. Kayaknya efek pesawat belum terbiasa untuk kendungan Agni.

Rio memijat-mijat tengkuk Agni. Agni muntah lagi. Nyaris ambruk, untuk Rio cepet nahan. Ia mendudukkan Agni di kursi dekat toilet. Muka Agni pucat pasi, lemah. Rio menepuk-nepuk pelan kepala Agni, Agni gak sanggup lagi ngebuka matanya.

“Masih mual ?” Rio bertanya lembut seraya mengelus-elus lengan Agni. Agni menggeleng. “Sanggup jalan gak, Ag ?” Agni menggeleng lagi. Rio makin panik. “Terus gimana ?”

“Duduk di sini aja dulu. Kepala gue pusing.” Agni menyandarkan tubuhnya, tapi malah oleng dan jatuh ke dada Rio. “Sorry.” Ia tegakkan lagi duduknya, tapi jatuh lagi.

“Udah, udah. Sini.” Rio kasihan pada Agni. Ia sandarkan kepala Agni ke dadanya. “Kalau lo udah agak mendingan, baru kita pulang.” Agni mengangguk.

Jadilah Rio dan Agni duduk di sana sampai Agni mendingan. Sesekali Agni menutup mulutnya menahan agar tidak muntah. Tanpa sadar ia malah melingkarkan tangannya ke pinggang Rio. Rio agak kaget, tapi ia biarkan. Toh kondisi Agni sedang lemah. Jadi ya gak apa-apalah.

@@@

Sialan. Efek Paris bener-bener gila. Rencana awal yang Cuma dua hari malah keterusan sampai seminggu. Dan parahnya, Cakka gak muncul-muncul. Meeting Cakka gak tau kapan selesainya. Rio jadi sebal sendiri, tapi dia urung pulang ke Indonesia mengingat Agni sendirian di Paris. Kemarin orang tua Agni berangkat ke Jepang, dadakan. Jadilah Agni yang belum mau naik pesawat wanti-wanti ke Rio untuk nemenin dia di Paris dulu sampai Cakka datang. Rio terpaksa mengiyakan, gak tega sama Agni.

“Yo, mau sarapan apa ?” Tanya Agni. Rio tak merespon. Lagi asyik PS-an bola. “Rio, di tanyain juga.” Agni mulai sebal.

“Terserah lo deh.”

“Kok terserah gue ? Yang sarapan kan lo. Nanti cape’-cape’ gue bikin eh malah gak lo makan.”

Rio mendelik. Si Agni ganggu aja. “Nasi goreng deh.”

“Pake’ apaan ?” Yaelah,,,

“Telur.” Sial. Gawang Rio kebobolan. Jadi makin sebel sama Agni.

“Telur dadar atau mata sapi ?” Gubrakk,,,

“Telur cetak.” Rio menjawab asal. Agni bingung, namun segera melesat ke dapur.

Rio mendengus. Huh,,,pergi juga tuh anak.

@@@

Rio mulai bosan. Kalah PS-an bola. Kalah PS-an avatar. Kok kalah mulu ? Makin BT soalnya Agni gak selesai-selesai ngebuat sarapan. Rio mutusin buat ke dapur, jangan-jangan beneran buat telur cetak tuh si Agni.

Rio cengo’. Benar-benar telur cetak. Bentuknya segitiga. Nah lho, gimana cara buatnya coba ? Tiba-tiba ide jahil muncul di otak Rio. Diam-diam ia mendekati Agni yang sedang mencuci piring, lalu memeluk Agni dari belakang. Beberapa hari ini Rio dan Agni sering bercanda begini, katanya iseng aja.

“Mulai deh.” Seru Agni, manja.

“Duh, Io bantuin ya,,,” Rio bakat banget jadi Aktor. Pernah sekali tetangga Agni mergokin becandaan mereka, dan taraaaa,,,,mereka di kira benar-benar pasangan suami-istri. Rio dan Agni langsung ngakak.

“Gak usah. Io makan aja gih sana.” Agni mengikuti permainan Rio.

Adegan selanjutnya Rio meletakkan dagunya di bahu Agni. Dan Agni mengelus-elus pipi Rio. Klop banget.

“Io maunya Agni suapin.” Rio merengek. Agni terkekeh kecil.

“Siap Agni cuci piring ya, Io...” Rio mengangguk. Ia lalu mengelus-elus perut Agni dan menepuk-nepuk lembut.

Rio berseru lagi. Kali ini sok manja banget. “Wah, dede’nya udah gede ya. Udah berapa bulan ?”

Agni rasanya pengen muntah ngedenger suara Rio. Tapi berhubung dia boring banget dan suka ama becandaan yang beginian, dia balas juga. “Udah empat bulan.” Suara Agni tak kalah manja. Sumpah.

Rio melepas pelukannya lalu membantu Agni mencuci piring. Bukan niat tulus, tapi karena sebel ngeliat Agni kerjanya lambat banget.

“Kok Io ikutan sih ?”

Rio tersenyum manis. “Abisnya Agni lelet sih, Io kan jadi BT nunggunya.”

Agni tau itu sindiran. Refleks ia menyiram Rio. Rio mengelak dan balik menyiram Agni.

Agni cemberut. “Ih,,,Io gak niat nih nolonginnya.” Nadanya semakin manja. Pura-puranya ngambek gitu.

Rio nyengir lalu mengacak-acak rambut Agni dan mengelus pipi chubby Agni. “Maaf deh maaf. Agni sih yang mulai, kan Io jadi ngebales.”

“Sok imut banget sih lo. Jijik gue. Cepetan bilas ini.” Bisik Agni seraya menyerahkan panci. Suasana kembali biasa.

“Cerewet lo ah. Udah untung gue bantuin.” Rio balas berbisik.

Sayang. Yang di belakang tak bisa mendengar dialog terakhir mereka. Ia sudah terlalu sempurna melihat adegan-adegan mesra Rio dan Agni. Sakit sekali. Ia rela meng-cancel semua meetingnya demi bertemu dengan istrinya, tapi istrinya malah seperti ini,,,dengan sahabatnya. Perlahan ia berjalan mendekati Rio dan Agni yang sudah asyik kembali siram-siraman air.

“Oh, begini.” Ucapnya datar, sangat dingin. Agni dan Rio serempak menoleh. Rio langsung melepaskan cengkramannya di pergelangan Agni. “Asyik banget ya...” Ia, Cakka, tersenyum sinis. Matanya mengkilat melihat Agni dan Rio. Ia marah, kecewa, sakit hati.

“Kok mendadak, Kka ?” Rio mencoba berbasa-basi, menetralisir keadaan.

Cakka melihat Rio sekilas. Lalu ia menarik kasar tangan Agni dan membawa Agni ke lantai atas. Agni sampai kewalahan menyamai langkah Cakka. Rio ingin menahan, tapi ia takut malah akan memperkeruh keadaan. Mungkin dia diam saja dulu.

Sesampainya di kamar, Cakka langsung mendorong Agni ketempat tidur. Agni kaget karena di banting begitu. Belum lagi tatapan Cakka yang gak seperti biasanya. Tatapan yang penuh kemarahan, kebencian, dan,,,,,,,nafsu. Agni bergidik. Ia mendadak takut pada Cakka.

Cakka kesetanan. Ia membuka kemejanya dengan kasar, lalu naik ketempat tidur dan menindih Agni. Ia gak peduli dengan Agni yang sepertinya kesakitan dan ketakutan. Ia mencengkram pipi Agni dan ingin merengkuh bibir Agni. Cakka kerasukan. Ia gak peduli dengan Agni yang menjerit-jerit. Ia benar-benar kalam. Ia tarik lengan baju Agni, meninggalkan gores luka di bahunya. Agni menjerit histeris, Cakka semakin menggila. Sampai Cakka merasa ada yang menariknya dan meninju ulu hatinya. Agni menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Ia ketakutan.

Untung Rio merespon cepat teriakan Agni. Ia terkejut melihat adegan Cakka yang menindih Agni dan mencoba melepas pakaian Agni dengan paksa. Rio mendekati Agni dan membawa gadis itu kepelukannya. Dapat ia rasakan tubuh Agni yang bergetar.

“LEPASIN TANGAN LO !” Cakka menarik Agni dari pelukan Rio dan melayangkan satu bogem ke pelipis Rio. “JANGAN SENTUH DIA.” Nafas Cakka memburu. Agni tak pernah melihat Cakka begini. Jujur, Agni ketakutan.

Rio bangkit. “Lo gak liat dia ketakutan ?” Rio berusaha tenang. Ia lirik Agni, Agni menunduk sambil mencengkram selimut erat.

“Gue liat semuanya. Gue liat adegan mesra kalian. Gue liat lo megang kepala dia. Gue liat lo ngelus pipi dia. Gue liat semua. Jadi ini yang kalian lakuin di belakang gue ?” Cakka menarik kerah Rio. “Lo gue minta ngejagain dia, bukan nyentuh-nyentuh dia seenak jidat lo.”

Rio tersenyum sinis. “Lo salah paham. Itu semua gak seperti yang lo pikir.”

“Iya, Kka. Rio bener.” Agni buka suara.

“DIAM !” Cakka beralih mencengkram bahu Agni. “Dan kamu, kamu ngebiarin gitu aja di peluk sama dia. Kamu gak ngelawan sama sekali. Kamu anggap aku apa, Ag ? Atau jangan-jangan kamu suka sama dia ? Iya ?”

Agni menggeleng.

“Kka, lo salah ---

Bugghhh,,,,

Satu bogem memotong perkataan Rio.

“Simpen omong kosong kalian.” Seru Cakka tajam. Ia tatap Agni. “Dan untuk kamu, aku tunggu di Indonesia. Permisi. Maaf telah menganggu kalian.”

Brakkk,,,,,

Pintu kamar tertutup kembali. Agni membisu. Rio,,,,hanya pasrah melihat rumah tangga sahabatnya di ujung tanduk. Ini salahnya, lelucon yang ia buat berakhir seperti ini. Paris kembali mengukir kenangan buruk.

@@@

Di Indonesia,,,

Keadaan semakin memburuk. Cakka tak mau lagi serumah dengan Agni, dia memilih kembali ke apartment-nya dulu. Rio semakin bingung. Belum lagi Gabriel dan Sivia yang sama sekali tidak bisa kembali ke Indonesia. Semua serasa makin menyesak.

“Yo, Agni makin lemes aja di rumah. Harus cepet selesai semuanya. Aku gak tega sama dia.” Shilla angkat bicara. Untung saja Shilla gadis yang dewasa dan memahami keadaan. Dia sepenuhnya percaya dengan Rio dan Agni : bahwa semua hanya becandaan.

Ify ikut-ikutan bingung. Ia bahkan sudah meremas-remas cangkir. “Cakka kelewatan banget sih ? Heran deh gue.”

“Kamu kan tau, Cakka itu emosian berat.” Alvin menyahuti disertai anggukan cepat oleh Rio.

“Terus gimana donk ? Gak bisa dibiarin gini terus.”

Semua diam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Semuanya tau, Cakka itu emosian. Tapi gak ada yang menyangka kalau Cakka sampai memilih pisah ranjang dengan Agni, malah pisah rumah. Sepulang Agni dan Rio dari Paris, Cakka sudah tidak di rumah lagi. Agni down. Bahkan Cakka tak pernah sekalipun mengangkat telepon dan membalas sms dari Agni. Dan ini udah masuk minggu ketiga Cakka minggat.

Rio memandang semuanya satu persatu. Ia tarik nafas pelan. “Ini salah gue. Hari ini gue bakal ke apartment Cakka. Gue jelasin semuanya. Sendiri.”

Semua langsung melotot. Gak setuju sama rencana Rio. Rio bosan hidup apa ?

“Kalau mau mati, bukan gitu caranya, Yo.” Alvin melanjutkan. “Lo bisa dibunuh sama Cakka. Gak inget lo, gimana Cakka mukulin gue waktu di Paris ?”

“Iya, Yo.” Ify setuju. “Lagian gue gak yakin Cakka bakal percaya.”

Suasana hening lagi. Rio ngerasa jadi orang yang paling bersalah. Dia udah ngebuat rumah tangga sahabatnya sendiri berantakan. Belum lagi mengingat kehamilan Agni yang masih rentan akan keguguran, ngebuat Rio makin frustasi. Shilla mengerti kondisi kekasihnya, ia belai lembut pelipis Rio. Rio menoleh, ia tersenyum masam.

“Kita selesaiin sama-sama.” Shilla menatap yang lainnya. Mereka mengangguk mantap.

Rio agak lega. Untung ada mereka. Terutama Shilla.

@@@

Entah kenapa hari ini hujan gak berhenti-berhenti. Tapi anehnya, udara tidak begitu dingin. Hanya agak berkabut dan di beberapa ruas jalan air bergenangan. Becek. Keempatnya mendesah hampir bersamaan. Ify tiba-tiba memberi ide.

“Gimana kalau kita ke apartment Cakka ?”

“Ngapain, Fy ?”

Masih kental di ingatan bagaimana Cakka mengusir Agni tiga minggu yang lalu. Lalu bagaimana tiga hari lalu Alvin dan Rio diseret-seret satpam karena bersikukuh ingin menemui Cakka. Dan sekarang mereka harus kesana lagi ? Hhh,,,

“Fy,,,” Shilla memandang sayu ke arah Rio yang sedang menerawang jauh ke jalanan di luar mobil. “Gue gak yakin bakalan gampang ketemu ama Cakka. Gue,,, gue malah yakin banget kita bakal dibawa ke kantor polisi.”

“Coba dulu, donk. Kalian tega ngeliat Agni begini ? Gila ya, Cuma karena salah paham yang gak penting begini, rumah tangga orang bisa ancur. Gak logis.”

Alvin menarik sudut bibirnya. “Suami ngeliat istrinya di peluk pria lain. Gak penting ya, Fy ?”

“Tapi ini salah paham, Vin.”

“Emang si suami peduli ? Bukannya kalau mata udah ngeliat maka hati gak mau tau ?”

“Alvin, ini salah paham !” Suara Ify meninggi. Ia sampai melempar kasar tisu yang ia pegang.

Mobil di rem mendadak. Alvin menoleh ke belakang, ia menunjuk-nunjuk Rio. “Kalau ini bocah gak bercanda yang aneh-aneh, ini semua gak bakal kejadian.” Alvin menghela nafas kesal. “Mereka gak bakalan ribut, Cakka gak bakalan minggat, Agni gak bakalan frustasi, dan kita gak bakalan susah-susah begini untuk memperbaiki rumah tangga orang. Bagian mana yang gak penting ?”

Ketiganya diam. Kenapa Alvin malah jadi emosi ? Mereka ketemuan untuk membicarakan penyelesaiannya. Kenapa malah bersitegang begini ? Rio semakin merasa bersalah. Benar kata Alvin. Kalau ide konyol bercandaannya tidak ia lakukan, semua gak bakalan begini. Iya, benar. Ia memang salah. Harusnya ia yang menyelesaikan ini semua, gak seharusnya ia melibatkan orang lain. Rio menarik nafas, lalu membuangnya dalam satu hentakan pelan. Ia menoleh ke Alvin.

“Biar gue yang selesain. Thankz.”

Rasa kaget belum pulih saat pintu mobil sudah tertutup kembali. Rio keluar. Ia menerobos hujan, lalu menyetop taksi.

@@@

Cakka sudah hampir menghabisan vodka-nya yang kesekian saat bel apartment-nya berteriak ribut. Sempoyongan Cakka berjalan ke ruang depan. Cakka memutar kenop pintu. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, yang langsung mengusir, tapi kali ini pintu ia biarkan terbuka. Masih sempoyongan, Cakka berjalan kembali ke ruang tengah. Rio mengikuti Cakka dalam diam.

“Kka, gue mau jelasin semuanya.”

Mereka duduk hadap-hadapan, lesehan di balkon. Entah Cakka mendadak tuli, entah Cakka memang tidak peduli, tapi yang pastinya Cakka lebih kalem dari tiga hari yang lalu. Ia sama sekali tak memukul Rio. Ia malah asik menghisap dalam-dalam rokoknya dan menegak vodka yang tadi sempat tertunda. Rio mendengus.

“Gue beneran becanda, Kka. Gue gak maksud nyentuh-nyentuh Agni seenak jidat gue.” Rio merampas rokok Cakka. “Pulang, Kka. Agni butuh lo.”

“Sayangnya gue gak butuh dia.” Sorot mata Cakka dingin. Tapi Rio juga menangkap sorot yang penuh luka dan kecewa. Cakka agak kurusan dan kumal. Tidak seperti Cakka yang biasanya. Cakka yang ini terkesan berandal dengan gelas vodka yang tersisa beberapa tetes. “Gue kecewa, gue sakit hati, dan gue marah.”

Rio diam. Cakka lagi nyindir Rio. Rio jadi semakin merasa bersalah.

“Gue gak suka milik gue, terlebih yang paling gue sayang, dipegang gitu aja sama orang lain. Apalagi milik gue bukan barang sembarangan.” Mata Cakka menatap tajam ke setiap inci sosok di hadapannya. “Gue gak suka Agni di sentuh-sentuh sama siapapun. Gak peduli itu serius atau bercanda. Yang gue tau, Agni disentuh. Selebihnya gue gak mau tau.”

Susah payah Rio menelan ludah. Pernyataan Cakka udah cukup ngebuat Rio paham. Cakka bukan marah karena dikhianati, tapi Cakka marah karena dia gak bisa ngejagain sesuatu yang dia punya. Setidaknya Rio menangkap begitu. Dari sorot mata Cakka yang sayu, Rio menangkap kalau Cakka sebenarnya kangen Agni. Tapi Cakka seperti enggan bertemu dengan Agni. Dia marah karena Agni seperti bukan hanya tercipta untuknya. Rio terkesiap, apa Cakka mengira ia dan Agni sudah melakukan lebih dari itu ?

“Gue gak tidur sama Agni, Kka. Demi Tuhan.” Rio gelagapan melihat Cakka yang tersenyum sinis. “Gue gak mungkin makan punya temen sendiri.”

Cakka menyalakan rokok. Ia menghisapnya dalam. “Seminggu di Paris. Berdua.” Asap menggepul. Cakka menoleh. “Banyak hal yang bisa terjadi kan, Yo ?”

Rio membeku. Cakka benar-benar berfikiran begitu ? Cakka, lo terlalu jauh. Gue gak mungkin ngelakuin hal serendah itu. Tapi nyatanya kalimat itu Cuma di telan Rio. Bibir Rio jadi kaku.

Bel apartment kembali berteriak ribut. Puntungan rokok di lempar kasar lalu Cakka menginjaknya penuh nasfu. Ia berjalan ke ruang depan. Siapa lagi kali ini ?

@@@

Kelimanya duduk gusar di depan ruang ICU. Cakka yang paling gusar. Tadi Ify, Shilla, dan Alvin datang ke apartment mengatakan kalau Agni kritis. Pendarahan hebat gara-gara jatuh dari tangga. Cakka shock. Walaupun rasa kecewa masih menyumbat relung hati Cakka, bagaimanapun juga yang dikandung Agni adalah darah dagingnya yang sangat ia nanti-nantikan. Dan kalau Agni kritis, berarti,,, Argh, Cakka gak sanggung membayangkan. Ia tatap sahabatnya satu persatu. Mendadak ia menarik kerah baju Rio dan memukuli wajah Rio bertubi-tubi.

“Cakka ! Rio bisa mati !” Shilla berteriak histeris.

Alvin menarik paksa tubuh Cakka dan buughhh,,, tinjuan mengenai rahang kanan Cakka. Cakka ambruk. Darah segar mengalir di sudut bibirnya.

“Rio brengsek !!!” Cakka mengerang dan kembali ingin menyerang Rio. Alvin buru-buru mencengkram lengan Cakka. “Kalau sampe anak gue kenapa-napa, GUE BUNUH LO !!!”

“Cakka, tenang.”

Mata Cakka mengkilat. Bisa-bisanya Alvin ngomong tenang ? “Tenang lo bilang ? Itu yang di dalam istri gue.”

“Iya, dan itu mantan pacar gue !” Teriak Alvin tak kalah keras.

Semua mata langsung menatap Alvin. Apa-apaan si Alvin ? Memperkeruh suasana aja. Ify dan Shilla langsung was-was. Alvin parah banget, gak pake kebawa emosi juga kali.

“Apa lo bilang ?”

Bughhh,,,

Rahang kiri Alvin dibogem Cakka. Alvin berjajar kebelakang beberapa langkah. Ia mengerang. “Biasa donk, lo. Sakit bego !”

“Udah gue bilang, si Alvin mah gak bisa akting, Fy.” Shilla nyeletuk sambil membenarkan sangulan rambutnya.

“Alvin !” Alvin noleh ke Ify yang udah masang tampang garang. “Harusnya kamu gak ikutan emosi. Gimana sih ? Kena pukul kan jadinya.”

Shilla mengangguk lalu terkekeh kecil. Ify ikutan terkekeh, dan Alvin Cuma garuk-garuk tengkuk. Salting.

Rio ? Cakka ? Cengo’.

Ceklekk,,, Pintu ruang ICU terbuka. Kalau biasanya yang keluar dokter, ini malah yang keluar,,, Agni ? Sambil megangin kepala.

“Lama banget sih ? Di dalam dingin tau gak sih. Pusing gue jadinya. Mana mual pula.” Agni gak sadar di situ semua lagi pada natap dia dengan pandangan berbeda-beda sekaligus takjub bercampur kesel. Dia terus aja ngoceh. “Sendirian lagi. boring gue.”

Cakka makin bingung. Rio apalagi. Katanya Agni kritis. Pendarahan. Jatuh dari tangga. Lha ini siapa ? Sehat wal’afiat begini. Pakai dress dan dandan pula. Sakitnya bagian mana ?

Tiba-tiba suasana hening. Agni yang sadar ternyata di antara Rio dan Alvin, ada Cakka yang Cuma pake piyama sama sendal jepit, lagi natap Agni serem banget. Agni sampai susah nelan ludah. Ia menatap Ify, lalu Shilla, lalu Alvin, lalu Rio, lalu Cakka lagi. Tatapan Cakka makin serem.

Singgg,,,, lima detik kemudian, harusnya Cakka marah atau apalah yang sejenisnya, tapi ini Cakka langsung meluk Agni dan memeriksa Agni setiap inchi-nya. Cakka langsung menyambar-nyambar.

“Kamu baik-baik aja ? Gak pendarahan ? Gak kritis ?” Agni menggeleng kaku. Cakka memeluk Agni erat. Suara Cakka jadi serak. “Syukurlah, aku gak tau gimana jadinya kalau kamu dan anak kita kenapa-napa. Aku pasti bakal bunuh Rio.”

Deg,,, Rio pucat pasi. Itu Cakka beneran ?

“Bercanda.” Lanjut Cakka kemudian. Semua lega. “Pokoknya, apapun itu, gak boleh dan gak akan yang namanya ke Paris lagi.”

Semua setuju. Ini gara-gara Paris.

“Dan lupain soal becanda-becanda itu, anggap itu gak ada.” Cakka melepas pelukannya. Ia menatap Agni lembut. “Maafin aku yang gak percaya sama kamu. Aku tau kalian Cuma bercanda, tapi ego aku terlalu menguasai. Maafin aku, Ag.” Cakka mengecup kening Agni, lama dan penuh perasaan.

Semuanya menghela nafas lega. Alvin dan Shilla serempak melirik Ify lalu mengacungkan jempol. Ify menepuk-nepuk dada sumringah. Ia menatap Agni, dan melempar senyum bahagia. Ternyata rencana mereka berhasil.

“Kka,,,”

Cakka melepas kecupannya. “Ya sayang. Kenapa ?”

“Pulang ya ?” Cakka mengangkat alisnya sebelah, lalu mengangguk. Mereka berjalan menyusuri koridor. Di belakang, Ify, Shilla, dan Alvin mengekor. Sepertinya perjuangan mereka hujan-hujanan dan mengemis pada pihak rumah sakit untuk menyewa ruang ICU gak sia-sia. Yeeeaahhhh,,,

“Jadi akting ?” Rio ngoceh sendiri melihat punggung kelima sosok di hadapannya. “Lha gue, bonyok beneran ? Gimana coba ?”

“RIOOOOO !!!”

@@@

“Jadi itu rencana siapa ?” Tanya Cakka. Kini mereka sedang menunggu Gabriel dan Sivia di bandara. Semua serentak menunjuk Ify. Yang di tunjuk nyengir garing. “Udah gue tebak.”

“Lho, kok bisa ?”

“Cuma Ify yang punya ide gila.” Cakka berenti sebentar. “Kan kita waras semua.”

Refleks Alvin menoyor Cakka. “Pacar gue, Bro.”

“Pisss,,,”

Di komando Agni, semua langsung berdiri. Dari kejauhan tampak Gabriel dan Sivia sedang berjalan beriringan. Paris,,, Cakka memeluk Agni lalu mencium ubun-ubun Agni. Agni tersenyum manis. Semoga Paris tidak,,,

“Tapi kan Gabriel dan Sivia belum terkena dampak Paris. Iya gak sih ?”

Yaelahhh si Ify ngerusak suasana banget. Hhhhh,,,

@@@

Kalau bagi sebagian orang beberapa tempat adalah tempat yang bersejarah, maka bagi sebagian orang juga beberapa tempat adalah tempat yang bersejarah pula. Tapi dalam artian yang berbeda. Karenanya, jangan hanya memandang sesuatu dari satu pengertian, karena pada kenyataannya di dunia ini semuanya tidak sendirian---

FIN---)

0 komentar:

Posting Komentar