sambungan dari cerpen   Dahsyatnya Paris (short story)
By : Irmayani Rizki
###
 
Semuanya seperti kain yang bermula dari kapas, seperti Romeo  yang ditinggal mati oleh Juliet, seperti kebohongan yang ditutupi oleh  Jane dan Jonny Smith, seperti Arinda yang mencintai Genta, seperti Genta  yang mencintai Riani, seperti Riani yang mencintai Zafran, seperti  Zafran yang mencintai Arinda, seperti Raditya Dika dan cerita bodohnya,  seperti Rose yang melihat Jack membeku di hadapannya, seperti Modesty  yang malah bercerita pada perampok yang ingin mencuri semua uang di  kasino tempat ia bekerja, seperti ikan yang akan mati tanpa air, seperti  Mesir yang sudah berjodoh dengan Nil, dan seperti itulah kesungguhan  cinta yang belum bisa pudar dari hati yang masih kesakitan ini.
@@@
I see my vision burn
I feel my memories fade with time
But i’m too young to worry
There street we travel on will undergo or same lost past
“Hai, Ag. Kok sepi ?”
Agni  berbalik untuk melihat si pemilik suara. Sejenak ia tersenyum kecil  kemudian kembali larut dengan majalah yang sedang ia bolak-balik.
“Lagi  pada keluar. Lo sih bangunnya telat.” Jawab Agni. Ia masih berkutat  dengan majalahnya. Avanged7fold terus saja berteriak-teriak di  hadapannya.
“Pada kemana ?”
Alvin membanting  diri di samping Agni. Membuat Agni sedikit terlonjak, sesegera mungkin  ia melotot pada Alvin yang sudah cengar-cengir.
“Cakka, Rio, Iel lagi ke rumah Oma. Shilla, Sivia, Ify lagi ke Mall.” Agni menjawab seadanya tanpa memandang Alvin.
Alvin hanya manggut-manggut. Kemudian kembali berceloteh.
“Kok lo gak ikut ?”
“Males.”
“Kenapa males ?”
“Males aja.”
“Ada alasannya donk.”
Agni menutup majalahnya dengan sedikit bantingan. Kemudian memicing tajam ke Alvin. Mengganggu.
“Dari  dulu ya lo. Dari dulu kalo nanya selalu sampai detail. Gak ngerti  privasi banget sih ?” Agni emosi. Moodnya mendadak turun level sampai  nol.
Alvin mengerutkan kening.
“Calm down. Dari dulu emosian mulu.”
“Suka-suka gue.” Balas Agni ketus.
“Ternyata efeknya besar juga ya, Ag.” Alvin menerawang. Avenged7fold masih teriak-teriak, kini sudah memasuki bait-bait akhir.
“Iya.”
“Pasti seneng donk ?”
Agni mendengus keras. Sebal juga dia lama-lama mendengarkan ocehan-ocehan Alvin yang gak bonafite seperti ini.
“Kok Ify betah ya sama lo ?” Sindir Agni.
Alvin tersenyum sinis lalu menjawab.
“Soalnya Ify gak emosian kayak lo.”
Agni kembali mendengus. Alvin bikin BT tingkat tinggi.
“Gak  usah dengus-dengus gitu juga kali, Ag. Gak bagus untuk pertumbuhan  janin.” Ujar Alvin sambil tertawa kecil. Bikin Agni makin BT.
“Bisa  gak sih sehari aja gak ngerejokin gue ?” Ketus Agni sambil mendelik  tajam. Tapi walaupun begitu tak akan ada efek ngeri atau apalah bagi  Alvin. Alvin malah ngakak puas.
“Tampang lo kalau lagi  delik-delik gitu lucu deh. Jadi gemes gue.” Segera Alvin mencubit kedua  pipi chubby Agni setelah mengucapkan kalimat ungkapan perasaan tadi.
“Sakit, Kokooo.” Pekik Agni. Keceplosan.
Alvin  mendadak berhenti tertawa dan menarik tangannya yang masih bersarang di  pipi Agni. Ia ambil remote kemudian ia tekan tombol replay.  Avenged7fold kembali berteriak-teriak. Kali ini bukan Seize The Day,  tapi Dear God.
“Lo masih ingat lagu ini gak ?”  Tiba-tiba Alvin berujar serius.
“Ini lagu kesukaan,,,” Agni menoleh ke Alvin. “,,,kita.” Kemudian ia menunduk. Masa lalu.
Alvin tersenyum, ternyata Agni masih mengingatnya.
“Koko.” Alvin menerawang. “Bukannya kata itu udah kita kubur semenjak satu setengah tahun yang lalu ya, Ag ?”
Alvin menoleh ke Agni, Agni masih menunduk sambil memutar-mutar telunjuknya di sofa. Seperti orang kebingungan.
“Ternyata memang susah ngelupain kenangan.” Alvin berlanjut. Ia serius menatap ke layar televisi.
Cause i’m lonely and i’m tired
I missing you again oh no,,,once again
“Khusus  di reff bagian ini, gue selalu nangis. Ironis banget ya ?” Tanya Alvin  yang berharap Agni akan mengeluarkan sebuah suara. Tapi Agni tetap diam.  “Susah, Ag. Susah banget.”
Beberapa detik Alvin diam.  Mencoba mencerna tentang rasa yang ia miliki. Tak tau apakah semua  sia-sia, apakah semua hanya kebohongan, apakah semua merupakan  kesalahan, dan apakah semua merupakan harta berharga. Alvin mencoba  mencerna, tapi hasilnya malah semakin banyak kata ‘apakah’ yang ia  hasilkan.
“Itu masa lalu, Al.” Jawab Agni, berusaha tenang.
Alvin  tersenyum sinis. “Al ? Gue selalu suka singkatan itu. Singkatan yang  hanya pernah terucap dari satu orang.” Alvin menoleh lagi Ke Agni, kali  ini mata keduanya bertemu. Saling pandang, saling mencari rasa, saling  menerka-nerka, semuanya.
Agni sadar duluan. Ia palingkan  wajahnya dari Alvin. Semuanya kembali tergambar secara gamblang.  Siluet-siluet itu, kenangan-kenangan, airmata, tawa, teriakan, amarah.  Agni menghela nafasnya. Avenged7fold masih berteriak.
“Sinaran  mata lo selalu mengebuat gue tenang.” Alvin kembali berujar. Kali ini  suaranya agak tercekat. Seperti ada rasa kehilangan.
Agni  mengatur nafasnya. Ia memotivasi diri, jangan sampai berlarut-larut.  Semuanya sudah tak sama lagi. Antara dirinya dn Alvin hanya bongkahan  masa lalu.
Agni menoleh ke Alvin. Ia tersenyum lebar.  Seakan-akan mereka tak pernah ada di dalam forum seserius tadi. “Lo  pasti belum sarapan. Gue buatin sarapan ya ? Soalnya sarapan yang tadi  di buat udah abis.” Celoteh Agni, berusaha keluar dari forum.
“Gue nyaris depresi.” Alvin tetap di forum.
“Mau sarapan apa ? Bilang aja, Vin. Gue lagi kena jin baik nih.” Agni tetap berusaha.
“Ternyata tidur setelah menegak obat tidur itu malah ngebuat kita semakin gak bisa tidur. Setidaknya itu berlaku buat gue.”
“Udah.  Lo gak usah sok gak enak. Gue buatin kok. Kan gak tega juga gue liat lo  mati kelaparan.” Agni bangkit dan mengecilkan volume televisi. Sekarang  MCR sedang berteriak-teriak.
Alvin menghela nafas, kecewa. Percuma masih di forum, toh Agni berusaha keluar dari pembicaraan. Pintar.
“Nasi goreng aja.” Ujar Alvin. Akhirnya.
Agni  mengangguk-angguk. Kemudian ia berjalan kearah dapur. Kira-kira lima  langkah di belakang Alvin, ia berhenti. Tanpa menoleh, ia berujar.  Kembali ke forum.
“Roti panggang aja. Yang gue tau, Al gak  bisa makan nasi untuk sarapan.” Agni pun berlalu. Memasuki dapur,  mengambil roti, mengolesinya dengan selai coklat, memasukkannya ke dalam  microwave, mengatur suhu. Ia menangis. Al dan Koko, dua kata yang ia  coba kubur selama satu setengah tahun ini. Tapi nihil. Semua masih  terkuak. Sakit.
Alvin tercekat, lalu tersenyum. Agni masih  hafal semuanya. Semuanya tentang Al. Alvin mengambil remote dan  me-replay Dear God. Ia tak sadar, ada orang yang semakin terisak di  depan wastafel saat Avenged7fold melantunkan baris ‘...and how i miss  someone to hold when hope begin to fade...’.
Ada rasa yang menyesak, di antara keduanya.
@@@
“Main basket mau gak, Ag ?” Ide gila muncul di otak Alvin. Ia terus mengunyah roti panggang yang di buatkan Agni. Enak.
Agni  melotot ganas, seolah berkata ‘Kagak inget kondisi gue ?’. Alvin  mengerutkan kening, tapi detik kemudian ia menepuk jidat dengan keras.  Ia lempar pandangan ‘gak jadi deh gak jadi’ dengan segera.
“Cakka lama deh. BT gue.” Keluh Agni.
“Kan ada gue, Ag. Kagak di anggap umat banget sih.”
“Gak seru sama lo. Bosen gue.”
Alvin mencibir. “Ya iyalah. Hampir tiga tahun lo bareng sama gue. Tau deh yang mau suasana baru.”
Obrolan kali ini lebih santai. Tak seserius tadi.
“Gak usah mulai deh. Gue lempar saos juga lo.” Ancam Agni sambil mengangkat botol saos. Minta nih si Alvin.
“Nyebut, nyebut. Gak bagus untuk pertumbuhan janin.” Alvin ngakak puas.
Agni  manyun dahsyat. Agni segera berdoa dalam hati supaya Cakka cepat  pulang. Bisa gila lama-lama nyolot-nyolotan sama Alvin. Sepertinya  terkabul.
“Sayang, kamu dimana ?” Cakka berteriak dari pintu depan.
Agni  yang mendengar itu langsung berlari menghampiri Cakka. Alvin sempat  teriak-teriak panik. Tapi Agni masa bodo dan tetap berlari. Ia langsung  memeluk Cakka. Membenamkan mukanya di dalam dekapan Cakka.
“Sudah seabad lamanya kita tak bertemu.” Rio bersyair. Diikuti anggukan semangat dari Iel.
“Kok tiba-tiba meluk gini ?” Tanya Cakka kebingungan. Gak biasanya Agni jadi manja gini ke dia.
Agni manyun. “Gak mau lagi di tinggal di rumah bareng Alvin.” Aku Agni, merengek.
“Kenapa, Ag ?” Rio nimbrung. Iel ngangguk-ngangkuk lagi.
“Alvin nyebelin. Ngerecokin mulu.”
Cakka  mengacak-acak lembut rambut Agni. Rio dan Iel segera pengen muntah. Sok  mesra. Gak inget apa setahun setengah dianggurin sama Agni ?
“Nanti Alvin-nya aku tegur deh.”
“Marahin  sekalian. Terus ceburin ke kolam. Alvin kan gak bisa renang tuh, biarin  aja dia mati kelelep. Hatiya kita cincang-cincang, jantungnya kita  panggang. Trus makan bareng deh di halaman belakang sambil kemahan.”
Cakka diam di tempat, hp nyaris jatuh dari genggaman.
Rio gosok-gosok kuping, berharap ia yang salah denger,
Iel, dengan santai nepuk pundak Agni dan berujar. Dewasa.
“Hush,  gak boleh gitu. Jaga omongan. Kamu gak boleh lagi sembarangan ngomong.  Inget kondisi kamu sekarang.” Ujar Iel bijak. Iel pun segera melesat ke  kamar mandi terdekat, mual banget ngebayangin kalau dia makan hati dan  jantung Alvin beneran.
Alvin ? Masih di meja makan. Sambil megangin dada.
“Bercanda.” Agni nyengir lebar. Semua lega.
“Nyusul ke mall mau gak ?” Usul Alvin yang baru datang dari ruang makan.
Semua mengangguk. BT juga di rumah mulu.
@@@
Tak  butuh waktu lama. Akhirnya mereka sekarang jalan bareng di salah satu  mall termewah di Paris. Tapi berhubung Alvin orangnya cepat capek dan  Agni memang gak boleh capek, jadilah Agni dan Alvin berada di kondisi  seperti tadi pagi lagi. Duduk berduaan.
“Sori soal tadi pagi. Gue gak maksud ngebicarain masa lalu.” Ujar Alvin sambil memijati kakinya.
Agni  tak langsung menjawab. Ia harus waspada, jangan sampai ada yang  mendengar. Setelah memastikan bahwa Cakka masih asyik bertelpon-ria,  Agni pun berujar.
“Udah lah, Al. Udah lewat ini.”
“Tapi gue gak bohong, Ag. Gue beneran susah lupain lo.”
Agni  berdecak. “Al, jangan kayak anak kecil. Semuanya itu udah beda. Lo udah  ada Ify, dan gue udah ada Cakka. Moving On donk. Wake up. Cerita kita  Cuma masa lalu. Past. Ok ?”
Alvin melongos. Apa sudah sedemikian gak ada harapan lagi ?
“Kita coba aja lagi ?” Usul Alvin, hati-hati.
Agni  segera mendelik. “Al, lo apa-apaan sih ? Kita gak mungkin kayak dulu  lagi. Lo kenapa sih ? Kita kan udah janji gak ngomongin ini lagi.”
Lama  Alvin terdiam. Kembali mencoba mencerna. Ia lirik Agni yang sudah tidak  sabar menanti perkataan darinya. Alvin mengatus nafas, ia tatap Agni  lekat-lekat.
“Udah beberapa malam ini gue mimpiin lo.”
“Lalu ?”
“Di dalam mimpi lo kembali jalan sama gue.”
“Trus ?”
“Agni, gue tau lo gak bego.”
Agni berfikir sebentar. “Alvin, itu Cuma mimpi. Just flower of dream. Gak lebih.”
“Tapi itu udah lebih tiga kali. Gue yakin itu ada maksudnya.”
Agni memutar bola matanya. Alvin menanti dengan was-was.
“Gue  pernah mimpi bakal kehilangan Cakka. Tiga kali berturut-turut. Tapi  nyatanya, Cakka masih sama gue kan ? So, itu Cuma mimpi. Gak lebih.”  Ucap Agni, yakin.
Alvin mengangguk-angguk. Sejurus kemudian Alvin tersenyum sinis. “Lo yakin itu gak bakal jadi kenyataan ?”
“Iya. I’m sure.”
“Gue gak. Liat itu.” Alvin menunjuk kebelakang Agni. Agni menoleh. Sukses, Agni menjatuhkan eskrim yang sedang ia pegang.
Mendadak  Agni merasa otot-ototnya lemas. Tangannya bergetar. Ada seperti gemuruh  yang bersiap menyeruak dari rongga dada. Nafasnya memburu, oksigen  berebutan dulu-duluan dengan karbondioksida. Dadanya agak sesak, gejala  yang akan membawa sinyal-sinyal ke pupil dan kongjungtiva bergerak  cepat, cairan bening siap meluncur.
“Apa perlu gue ulangin persepsi lo tentang mimpi ?”
Agni tetap diam. Pemandangan di depannya membuatnya kehabisan kosa kata.
“Gue rasa lo bisa paham semuanya. Kalau,,,,
“ALVIN  DIAM. DIAM. GUE GAK MAU DENGER APAPUN LAGI.” Agni berteriak histeris  sambil menutupi kupingnya. Beberapa orang yang lalu-lalang menatap sinis  kearah Agni. Agni gak peduli.
“Ag, lo gak pa-pa kan ?”
“GUE BILANG DIAAAAAMMM !!!”
Agni  mengambil tasnya. Lalu berlari dengan kencangnya kearah pintu keluar.  Pertahanannya jebol. Pipinya basah. Hatinya sakit. Ia tak mempedulikan  teriakan-teriakan orang di belakangnya. Apapun ia tabrak. Entahlah.  Semua serasa begitu cepat.
Ia memasuki sebuah taksi. Ia  bisa melihat Alvin dan Cakka yang menggedor-gedor kaca pintu taksi. Ia  tarik paksa tirai yang terikat rapi di sisi pintu taksi.
“Please hurry up.”
“Yes, Mam.”
Taksi pun melaju.
@@@
Boughhh,,,,
Cakka  merasakan ujung bibirnya perih. Tapi ia diam saja. Tak menangkis  apalagi membalas. Saat ini mereka, kecuali Agni, sedang perang dingin di  basement mall yang di gunakan sebagai area parkir.
Boughhh,,,,
Ujung bibirnya kembali perih. Tapi tetap seperti tadi, ia diam dan menerima semuanya begitu saja.
“Gue  kan udah bilang, jangan berhubungan lagi sama Oik. Lo tuli, bego atau  apa ? Sekarang gini kan jadinya.” Iel berteriak-teriak penuh amarah.  Serasa ia ingin menelan Cakka hidup-hidup.
“Agni belum nyampe rumah.” Ujar Sivia memburu. Ia kembali memencet-mencet tombil hp-nya. “Nomornya gak aktif.”
Boughhh,,,,,
Kini giliran Alvin yang menghajar Cakka. Amarahnya sudah memuncak.
“LO  ITU GILA !!!” Teriak Alvin. Semua bergidik. Alvin yang selama ini  terkesan pemdiam, sabar, dan tenang, mendadak berteriak histeris. Ada  apa ini ?
“Vin, kenapa lo jadi ikutan marah ?” Rio bersuara. Ia benar-benar merasa aneh.
Alvin  menatap sinis ke Rio. Ia mendadak lupa statusnya sekarang. “Lo nanya  kenapa gue marah ? Dia ini,,,,” Alvin menunjuk-nunjuk muka Cakka.  “,,,Cakka, sahabat gue, yang gue relain ngambil pacar gue. Yang gue kira  bakal jagain baik-baik pacar gue. Tapi sekarang apa ? Gue gak tau pacar  gue itu dimana ? GUE GAK TAU.”
Semua shock. Terdiam. Tak  menyangka Alvin akan berujar seperti ini. Di pojokan dekat mobil Ify  sudah berdiri mematung sambil meremas jemari Shilla, mencoba mencari  kekuatan.
“Dia bukan pacar lo lagi. Dia istri gue.” Ujar Cakka, tenang namun tegas. “Jadi lo gak perlu marah atau sok peduli. NGERTI LO ?”
Cakka  mendorong tubuh Alvin dan,,,boughhh,,,,,satu bogem mentah mendarat  mulus di pipi putih Alvin. Ujung bibirnya langsung menghasilkan darah  segar.
Rio dan Iel panik. Kenapa sekarang jadinya malah  Cakka dan Alvin yang adu jontos. Shilla, Ify, dan Sivia terpekik melihat  perkelahian dua sahabat itu.
Rio berusaha menarik Cakka,  dan Iel menarik Alvin. Tapi memang dasar Cakka dan Alvin jago bela diri,  keduanya malah pukul-pukulan makin ganas.
“Lo suami gak  bisa di pake. Lo gak liat tadi gimana reaksi Agni pas lo dan Oik  pelukan, hah ?” Alvin mengoceh seraya melayangkan pukulan-pukulannya ke  wajah Cakka.
Cakka merespon. Ia tangkap gepalan Alvin dan ia balik Alvin menjadi di bawah dirinya. Ia pukuli wajah Alvin dengan nafsunya.
“Lo cowok gak tau diri yang masih berani nembak cewek yang udah punya suami. Dimana otak lo, hah ?”
Rio dan iel masih berusaha melerai, tapi keduanya kewalahan. Mereka malah mendapat tonjokan-tonjokan kecil dari Cakka dan Alvin.
“STOOPP !!!”
Kontan Alvin dan Cakka meng-pause layangan tinju mereka.
“Kalian  gak mikir apa yang bisa terjadi sama Agni di luar sana ?” Shilla  berujar. Ia sudah gak tahan melihat perkelahian gak jelas yang di  lakukan Alvin dan Cakka. “Kka, lebih baik sekarang kita cari Agni,  bukannya malah tonjok-tonjokan begini.”
Cakka diam. Darah segar mengalir dari pelipisnya.
“Shilla bener. Kita harus cepat cari Agni. Ini udah hampir gelap.” Rio menimpali perkataan kekasihnya itu.
“Ok.”  Iel setuju. “Para gadis sama Rio. Dan dua manusia sok hebat ini biar  sama gue. Nanti di jalan kita kontek-kontekan.” Iel memberi aba-aba.  Semua mengangguk setuju dan langsung memasuki mobil.
@@@
“Gue  benaran gak sengaja ketemu Oik tadi, Yel. Dia meluk gue gitu aja. Gue  gak sadar kalau Agni ngeliat. Karena awalnya gue sempet ngeliat Agni  lagi asyik ngobrol sama Alvin.” Urai Cakka sambil melirik sinis ke Alvin  yang duduk di bangku depan.
“Bullshit. Bilang aja lo kangen sama mantan lo itu.” Sela Alvin.
Cakka sudah siap-siap menonjok Alvin lagi, tapi Iel langsung berujar.
“Mobil gue bukan ring tinju.” Iel melirik Cakka dari spion. “Lo yakin ?”
“Yakin,  Yel. Lo gak percaya sama gue ? Gak mungkin kan gue sengaja janjian sama  Oik buat pelukan begitu. Gue juga masih punya perasaan.”
“Punya perasaan sama Oik maksud lo ?” Alvin kembali menyela.
“Vin,  please. Jangan memperkeruh suasana.” Iel kembali melirik Cakka dari  spion. “Gue percaya. Lo harus jelasin semuanya sama Agni. Lo tau kan,  dengan kondisi dia yang sekarang, dia jadi sensitif.”
Cakka mengangguk cepat. “Gue bakal jelasin sejelas-jelasnya ke Agni.”
“Trus perasaan lo ke Oik gimana ?” Alvin menyela lagi.
“Eh,  Vin. Lo belum puas tadi gue tonjokin ? Gue bukan kayak lo yang bisanya  Cuma mengkhianati pasangan sendiri.” Balas Cakka, pedas.
“Gak usah sok nasehat deh lo.”
“Harusnya  lo itu dapat siraman rohani. Lo gak nyadar gimana sakit hatinya Ify  tadi pas lo nyebut Agni sebagai pacar lo ?” Ujar Iel mulai emosi lagi.  Cakka mengiyakan.
Sial. Alvin benar-benar lupa. Alvin langsung diam seketika.
“Gak bisa ngomong kan lo ?”
Dalam hati Alvin mengiyakan.
“Kka, coba lo telpon Agni deh. Kali aja dia mau angkat telpon dari lo.”
Cakka segera mengindahkan suruhan Iel. Ia ambil ponsel dari saku celananya, dan langsung men-dial salah satu nama kontak.
Lama,,,,dan diangkat.
“Masih ingat nelpon aku ?” Tanya sebuah suara parau di seberang.
“Sayang, kamu dimana ?”
“Kamu gak perlu tau.” Suara seberang semakin parau. Sesekali terdengar isakan.
“Sayang, aku jemput ya ? Kamu dimana ? Jangan bikin aku cemas donk.” Cakka mengetuk-ngetukkan telunjuknya di kaca mobil.
Suara  seberang terdengar menghela nafas. Samar-samar Cakka mendengar alunan  suara David Archuleta dari seberang. “Kamu di rumah ?” Tebak Cakka.
“Menurut kamu ?”
“Agni Sayang, kamu di rumah ?” Cakka semakin memburu.
“Dalam lima menit kamu gak nyampe rumah. Kita the end.”
Tut,,,,sambungan terputus.
“Halo, Ag. Agni ? Agni ?”
“Dia  di rumah. Cepetan putar arah. Dia Cuma kasih gue waktu lima menit.  Ngebut aja, Yel.” Cakka panik. Kembali ia tekan-tekan tombol hp-nya,  mencoba menghubungi Agni lagi, tapi nomornya malah tidak Aktif.
Di  bangku depan Alvin menatap kosong keluar mobil. Ternyata masa lalunya  benar-benar harus di kubur. Di kubur sedalam mungkin. Jangan sampai ada  cela untuk di keluarkan kembali. Alvin menutup matanya, mencoba  mengingat-ingat masa lalunya bersama Agni untuk terakhir kalinya. Saat  dimana ia dan Agni pacaran, saat dimana ia menyusul Agni ke paris dan  mendapati Agni sudah menjadi istri sahabatnya sendiri, saat dimana ia  nyaris depresi waktu Agni memutuskannya secara sepihak.
Semua  tergambar jelas. Kembali. Ia mencoba mengingat bagaimana ia menjadikan  Ify sebagai pelariannya, bagaimana ia masih meminta Agni untuk kembali  bersamanya padahal Agni sudah menikah, dan bagaimana ia membuat Agni  bimbang sehingga Agni enggan tidur dengan suaminya sendiri. Ini semua  ulahnya, dia yang selalu menyuntik pikiran Agni dengan  omongan-omongannya. Hingga akhirnya mereka berdelapan liburan ke Paris  dan suatu perkembangan mengejutkan terjadi diantara Cakka dan Agni.
Lonjakan  kegembiraan itu, yang terpancar dari wajah Cakka dan Agni di pagi itu.  Semua masih terekan sempurna di ingatan Alvin. Rekaman yang selalu  membuatnya ingin membunuh Cakka. Seorang sahabat yang telah menikahi  pacarnya.
“Relaain Agni, Vin.” Tepukan halus Iel kembali  membawa Alvin ke dunia nyata. Ternyata Alvin gak sadar bahwa mereka  telah sampai. Alvin tersenyum tipis. “Agni bukan jodoh lo, terima itu.”  Ujar Iel lagi.
Alvin tersenyum kecil. “Gue tau, Yel. Tapi semuanya itu butuh proses.”
Iel  melihat keluar mobil. Terlihat Cakka yang berlari-lari menaiki tangga  teras rumah demi untuk segera sampai kekamar. “Cakka dan Agni di jodohin  dari kecil. Rahasia keluarga, bahkan Agni dan Cakka mengetahui semua  itu sejam sebelum ijab kabul di lakukan.”
Alvin tersentak. “Dari kecil ?”
“Iya. Sori, adik gue udah ngebuat lo kecewa. Harusnya gue peringatin lo supaya gak cinta ke Agni, tapi gue gak tega sama lo.”
“Maksud lo ?”
Iel  menarik nafas. “Waktu Agni kenalin Ray sama gue, besoknya gue langsung  ngabarin Ray kalau Agni udah di jodohin. Ray langsung mundur. Gitu juga  yang terjadi sama Debo, Deva, Riko. Tapi entah kenapa, gue gak tega  ngelakuin itu ke lo.”
Alvin mengerutkan keningnya. Dengan sabar ia menunggu lanjutan perkataan Iel.
“Gue  inget, bukan Agni yang ngenalin lo sama gue, tapi lo sendiri yang  ngenalin diri ke gue.” Iel mengatur nafasnya. “Waktu itu gue cek-cok  sama Agni, gara-gara dia tau bahwa gue yang nyuruh Riko jauhin dia. Gue  nyaris mukul dia, tapi mendadak lo muncul dan nahan tangan gue. Dan lo  bilang Agni itu pacar lo.”
Alvin kembali tersentak. Siluet-siluet itu datang lagi.
“Gue  salut sama lo. Lo berani nantang gue yang waktu itu masih tergolong sok  preman. At least, sejak saat itu kita sahabatan. Gue makin gak tega  bilang tentang status Agni yang sebenarnya ke lo.” Iel diam sebentar. Ia  tatap Alvin lekat-lekat. “Pas kuliah kita satu kampus, kita ketemu Rio,  ketemu Cakka. Kita berempat makin deket. Dan hari dimana Cakka dan Agni  harus menikahpun tiba. Semuanya serba buru-buru.”
“Waktu itu lo bilang Agni di opname di salah satu rumah sakit di Paris.” Ujar Alvin, pelan.
Iel  mengangguk. “Gue bohong. Itu Cuma supaya lo datang ke Paris. Gue gak  tau lagi gimana caranya supaya lo tau status Agni saat itu. Sorry, Vin.  Maafin gue dan Agni. Kita beneran gak bisa ngelanggar perintah orang  tua. Demi kehormatan keluarga besar.” Tutup Iel. Ia menunduk.
“Kok jadi lo yang mellow sih, Yel ?” Canda Alvin.
“Maafin kita.”
“Maafin gue juga.”
“Sahabat ?”
“Forever.”
Setelah ber-high-five keduanya pun turun dari mobil. Terlihat sudah ada empat orang yang menunggu mereka di depan pintu.
Sahabat. Selamanya.
@@@
Cakka  berdiri mematung di belakang Agni yang sedang menatap keluar jendela.  Ingin rasanya ia memeluk Agni. Tapi sepertinya waktunya sedang tidak  tepat.
“Paris memang penuh kejutan ya ?” Ujar Agni, datar. “Kira-kiraa Paris akan ngasih apa lagi setelah ini ?”
Cakka diam. Ia memilih-milih kata yang tepat untuk membalas perkataan Agni. Cakka gak mau salah sikap lagi.
“Paris ngasih aku harta yang paling berharga.” Ujar Cakka, juga datar.
Suara  bening Christina Aguilera memenuhi kamar mewah Agni dan Cakka. Suara  yang merdu, namun menusuk. Cakka memilih duduk di tempat tidur. Agni  tetap berdiri di ambang jendela, sambil memperhatikan Alvin yang  sepertinya sedang meminta maaf pada Ify.
“Paris ngebuat  aku kehilangan orang yang paling aku cintai waktu itu. Paris memaksa aku  menjaga kehormatan keluarga. Paris memberikan aku kado terindah. Dan  hari ini Paris menampakkan aku sebuah kenyataan pahit.”
Cakka  tiba-tiba bangkit dan langsung memeluk Agni dari belakang. “Aku dan Oik  gak ada hubungan apa-apa lagi. Aku berani sumpah. Tadi itu dia yang  meluk aku, bukan aku. Aku minta maaf, Ag. Aku minta maaf.” Cakka  meracau.
Agni menarik nafas, berat. Lama baru ia membalas perkataan Cakka.
“Paris terlalu menyimpan banyak kejutan.” Lirih Agni.
Cakka lebih mengeratkan pelukannya pada Agni. “Maafin aku.”
“Jangan lakuin itu lagi, Kka.”
Cakka  membalikkan tubuh Agni, ia elus pipi Agni penuh dengan kasih sayang.  “Maafin aku. Jangan buat Paris mengakhiri kisah kita begitu saja.”
Agni  tersenyum. Ia lingkarkan tangannya di pinggang Cakka. “Paris takkan  mampu merampas seorang lagi dari aku. Aku bisa pastiin itu.”
“Jadi kamu maafin aku ?” Tanya Cakka berbinar.
Agni melepaskan lingkaran tangannya lalu berkacak pinggang. “Dengan satu syarat.”
“Anything for you, sweetheart.”
Cakka  pun langsung memeluk Agni. Menghilangkan semua rasa ketakutannya saat  di basement tadi. Menyirnakan rasa sakit atas tonjokan tadi. Mencoba  membelah malam, mengalahkan Paris. Ia bersumpah, Paris tak akan pernah  lagi menjadikan kisahnya dan Agni sebagai permainan ludo. Paris yang  indah, Paris yang penuh kejutan.
@@@
Sebuah  Limosin mewah berhenti tepat di sebuah menara yang amat sangat megah  dan mengundang decak kagum itu. Menara Eiffel. Lambang kota Paris.  Menara yang tingginya tak bisa di hitung dengan jengkal. Menara yang  mempesona. Menara yang mempertemukan cinta siapa saja.
“Untung kita gak punya catatan sejarah di Paris ya, Yo.” Ujar Shilla pada Rio yang sedang asyik menatap menara fenomenal itu.
“Kita juga.” Balas Sivia seraya membenarkan letak kacamata Iel.
“Paris di luar dugaan gue.” Celetuk Ify. Alvin segera merangkulnya.
Kemudian  semuanya diam. Udara jam 3 pagi tak membuat mereka semua kedinginan.  Ada sesuatu yang menghangatkan, entah apa itu. Semua larut dengan  pikiran masing-masing. Mungkin telah ada yang ber-chating-ria dengan  salah satu pilar yang ada di menara tersebut. Mungkin.
“Gue benci Paris.” Lirih Agni. Ia menunduk. Mencoba memotivasi pupil dan konjungtiva agar tak mengeluarkan tetesan apapun.
Cakka  yang di sebelahnya langsung membawa Agni ke dekapannya, membelai rambut  Agni dengan sayang. “Hei, kamu lupa. Kita bawa ini dari Paris.” Cakka  menepuk-nepuk lembut permukaan perut Agni.
“Tapi Paris hampir menghancurkan semuanya.”
“Aku janji, Paris tak akan melakukan itu lagi.”
“Janji ?” Agni minta kepastian.
“Janji.” Jawab Cakka, yakin.
“Paris gak akan ada lagi di daftar hidup gue.” Alvin menimpali.
“Paris gak akan bisa ngerusak kisah gue.” Ujar Rio, serius.
“Dan  jangan sampai Paris ngebuat kita ketinggalan pesawat.” Iel yang sedari  tadi diam ikut buka suara. Dan kali ini semua mengangguk serentak.  Limosin-pun melaju. Meninggalkan asap kasat mata. Meninggalkan Eiffel.  Meninggalkan Paris. Saat itu juga.
Paris yang indah, Paris yang penuh kejutan, Paris yang takkan lagi jadi pilihan.
@@@
Semuanya  seperti api dan lilin, seperti air dalam gelas, seperti kue dalam  toples, seperti tumpukan novel yang telah di baca, seperti baterai,  seperti sakit deman, seperti flu, seperti parfum, seperti bedak, seperti  lipstik, seperti sabun, seperti shampo, seperti umur, seperti sekolah,  dan seperti itulah ketidakmauanku atas habisnya sesuatu yang terjadi  secara berkala.
Aku ingin seperti tumor, yang terus menggrogotimu yang akhirnya takhluk dan jatuh kegenggamanku selamanya. Tanpa perlawanan.
 

0 komentar:
Posting Komentar